Selasa, 24 Mei 2016

PEMUDA NAHDLATUL WATHAN DAN MAKNA LAGU NW



PEMUDA NAHDLATUL WATHAN

(Mengharap Jadi Pejuang, Bukan Pecundang)

Sebelum melangkah pada diskusi, mari kita sama-sama menyanyikan lagu perjuangan ini, sebagai penyemangat dan penggerak hati kita untuk berjuang:

MARS NW

Cipt. Hamzanwadi

Kami benihan Nahdlatul Wathan yang setia

Mengorbankan jiwa membela nusa dan bangsa

Agar umat seluruh bersatu raga

Marilah kita hindarkan pengaruhnya setan durhaka

Teguhkan hati janganlah mundur

Walau setapak kaki

Serta tulus ikhlas kepada Tuhan

Jangan tinggi karena puji

Mari kita lenyapkan

Agar Nahdlatul Wathan yang perwira

Hidup makmur serta jaya

Dalam aman sentosa 2x

Maulana Syaikh mengisyaratkan dalam lagu, syair, dan pesan-pesan beliau agar pemuda atau generasi muda Nahdlatul Wathan tidak hanya sekedar berjuang menuntut ilmu, tapi lebih dari itu.

Perjuangan pemuda amatlah luas, sebagai gambaran sedikit, mari kita renungkan bait yang satu ini “جهادنا للمسلمين”. للمسلمين menegaskan bahwa pemuda NW jangan dikesampingkan dalam organisasi, tapi harus dilibatkan, jangan dijauhkan dari masyarakat dan Negara, perjuangan pemuda NW haruslah merata dalam segala bidang.

Pandangan orang tua tentang pemuda yang hanya bisa anarkis, egois pendemo, dan emosional, tidaklah semua berasal dari pemuda itu sendiri, melainkan bisa jadi karena kesalahan dari orang tua itu juga. Para orang tua selalu menasehati pemuda dengan mengatakan, “hendaklah kalian (pemuda) itu lebih dewasa, lebih berfikir dan lebih produktif serta cerdas”. Namun, kenyataan dari pernyataan itu hanyalah kosong, kotong[1], konyol.

Sebagai pemuda, generasi NW dan bangsa Indonesia, mari bertanya pada kenyataan yang kita alami masing-masing, apakah selama ini kita sebagai pejuang??? Ataukah hanya sebagai pecundang???.

Sebelum menjawab pertanyaan tadi, terlebih dahulu mari netralkan pandangan kita, untuk menjawab secara objektif, tanpa menyalahkan diri sendiri atau orang lain, tanpa buruk sangka atau bersikap subjektif, serta kita buka pikiran dan hati kita, dengan merenungkan hakikat diri sebagai pemuda.

Hakikat Pemuda

Menurut UU No. 40 Tahun 2009, pemuda adalah generasi yang berkisar antara usia 16 – 30 tahun. Memang kalau dari sisi perkembangan kejiwaan, usia pemuda khususnya pada tahapan awal, rentan dengan upaya pencarian identitas diri yang terkadang terjerumus pada aktivitas yang sebetulnya tidak produktif dan antinilai.

Pemuda adalah golongan manusia-manusia muda yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan ke arah yang lebih baik, agar dapat melanjutkan dan mengisi pengembangan yang kini telah berlangsung.

Ada sebuah kisah menarik, yang mungkin bisa jadi pegangan makna bagi generasi muda, khususnya pemuda NW. Dalam sebuah riwayat atau kisah, Imam Ja’far bin Muhammad al-Shadiq berkata kepada Sulaiman bin Ja’far al-Hadhali, “wahai Sulaiman, apa yang dimaksud dengan pemuda (al-Fata)?” ia menjawab, “semoga aku menjadi tebusan bagimu ! menurut pendapatku, seorang pemuda adalah seorang yang berusia muda”. Imam Ja’far berkata: “namun engkau harus tahu bahwa sesungguhnya Ashhabul Kahfi semuanya berusia tua, tapi Allah menganggap mereka sebagai anak-anak muda yang memiliki keimanan sejati[2]. Wahai Sulaiman: “orang yang percaya kepada Allah dan memiliki kesadaran tentang-Nya, maka ia adalah seorang pemuda”.

Dari definisi atau pernyataan di atas, kita bisa simpulkan bahwa, dari segi usia, batas usia muda adalah 30 tahun. Sedangkan pada kisah atau pernyataan kedua, tidak ada batas usia bagi sebutan generasi muda, tapi lebih dilihat dari seberapa kuat imannya, produktifitas dan perkembangan pemikirannya, serta kebaikan dan manfaat yang dibuat selama menjalani kehidupan.

Dalam pembahasan tentang hakikat pemuda pada kali ini, bukanlah merujuk pada pembatasan umur atau tingkat usia, tapi menunjuk kepada definisi atau pernyataan kedua yaitu kelompok manusia yang mau berjerih payah untuk terus belajar dan meneliti, terbuka dengan peradaban-peradaban baru, mengembangkan cara berpikir dan intelektualitas yang jujur, beradab dan mulia, serta mau berbagi atas berbagai karunia ilahi yang diterimanya, baik mereka itu berusia muda atau umurnya sudah tua.

Meskipun kebanyakan orang-orang seperti itu berasal dari kalangan yang usianya muda, sehingga dirasa lebih cocok memilih frase generasi muda. Perlu diingat, bahwa kita mungkin pernah menyaksikan adanya sejumlah orang-orang yang berumur lebih tua yang memiliki cara pemikiran baru, yakni yang selalu berkembang dan maju. Sebaliknya, tak sedikit pula kaum berusia muda yang pola piker dan keimanannya menyerupai generasi tua, yakni yang jumud dan merasa gagah dengan status usia mudanya.[3]

Pemuda Nahdlatul Wathan

Setelah memaparkan hakikat pemuda di atas secara umum, perlu sekiranya kita bahas juga sedikit tentang hakikat pemuda Nahdlatul Wathan secara khusus. Agar sebagai pemuda/generasi muda NW menjadi lebih sadar dan cerdas, faham dan tangkap dalam menjalankan aktifitas sebagai pemuda, hingga kita bisa memahami diri kita, apakah selama ini kita sebagai pejuang ataukah sebatas pecundang.

Maulana Syaikh, guru besar kita selaku pendiri NWDI, NBDI serta NW sebenarnya telah menjelaskan pemuda idaman beliau, pemuda yang akan terus tumbuh dan berkembang untuk memperjuangkan NW, Agama, Nusa dan Bangsa. Dalam syair yang sudah sangat masyhur di kalangan Nahdliyyin[4], yaitu:

نحن فتيان العلوم    كل يوم لا ننوم

آمالنا فوق النجوم    جهادنا للمسلمين

Secara singkat, dari syair di atas kita bisa mendefinisikan pemuda menurut Maulana Syaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid adalah orang yang senantiasa menggali dan meningkatkan intlektualitasnya, istiqomah dalam berjuang, memiliki cita-cita tinggi untuk agama, Negara dan NW, serta tinggi tingkat emosional dan spiritualnya.


Interpretasi bait-bait syair:

Interpretasi ini hanya bagian dari pemahaman saya, masih banyak makna-makna yang tersirat yang diinginkan oleh Maulana Syaikh, masih banyak pesan-pesan bagi pemuda Nahdlatul Wathan yang perlu kita kaji dan diskusikan bersama. Untuk mendapatkan makna yang mendekati dari makna sesungguhnya.

Pertama, Ketika beliau meng-idhofah-kan kata fityan dengan ‘ulum[5], adalah sebuah penghormatan dan penghargaan yang sangat tinggi bagi kita selaku pemuda Nahdlatul Wathan. Hal tersebut tentunya harus ditopang dan didukung dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tidak putus sampai SMA, atau MDQH/S1, tapi fityanul ‘ulum mengisyaratkan sampai titik tertinggi dari sebuah pendidikan, S2, S3 bahkan sampai menjadi Profesor/ilmuan. Yang tentunya akan meningkatkan produktifitas dan pemikiran maju kita.

Dalam Al-Qur’an surat Fathir: 28 dijelaskan:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

M. Quraish Shihab dalam Al-Lubab menjelaskan dengan ringkas tentang ayat ini, bahwa: diantara manusia, binatang melata, dan binatang ternak, bermacam-macam juga bentuk, ukuran, jenis dan warnanya. Sebagian dari penyebab perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuwan dan karena itu sesungguhnya yang takut lagi kagum kepada Allah swt di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’/para ilmuwan. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Pengetahuan dan fenomena alam dan sosial, demikian juga pengetahuan agama, mestinya menghasilkan khasyat, yakni rasa takut disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan Al-Qur’an bahwa memiliki sifat tersebut hanya ulama’. Mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya tidak wajar dinamai ulama/cendikiawan.[6]

Dari ayat Al-Qur’an dan tafsirannya tadi, bisa dikiaskan maknanya dalam ke-NW-an kita bahwa salah satu yang bisa memajukan dan mewujudkan cita-cita besar NW adalah fityan al-‘ulum, pemuda-pemuda NW yang berintlektual tinggi. Tidak ada alasan untuk menyampingkan pejuang-pejuang muda dalam perjuangan Nahdlatul Wathan dan bangsa.

Kedua, Kemudian beliau melanjutkan dengan kata لاننوم, sebuah kata yang menunjukkan pemuda yang istiqomah, disiplin dan giat. La nanum bukan berarti tidak tidur, tapi itu berarti sebuah proses[7] untuk senantiasa siap dan sigap, selalu melawan rasa malas dan lemas. Ketika ada permasalahan, tidak serta merta melepas dan acuh tak acuh, tapi memberikan kontribusi demi kemajuan dan kemaslahatan.

Dalam ruang lingkup Nahdlatul Wathan, kita sebagai pemuda tidak ingin lihat organisasi kita pakum, mabniy ‘ala al-sukun, kita tidak ingin generasi demi generasi NW yang tidak mlek terhadap perkembangan peradaban dunia. Kita ingin NW me-nasional bahkan mendunia sesuai dengan cita-cita pendirinya, yakni “وانشر لواء نهضة الوطن فى العالمين”, kita juga sebagai pemuda ingin berkontribusi besar terhadap organisasi, agama dan masyarakat serta Negara.

Ketiga, Bercita-cita tinggi, motivasi dan semangat yang luar biasa. Sebagai pemuda, kita harus merencanakan langkah perjuangan kita sekian langkah ke depan. Seperti bermain catur, gerak gerik tiap buah catur harus kita rencanakan langkahnya masing-masing dalam tiga sampai lima langkah bahkan lebih ke depannya, untuk menggapai sebuah cita-cita dan kemenangan.

Keempat, setelah melalui proses melalui pendidikan, kedisiplinan, ketekunan dan cita-cita tinggi, sebagai pemuda harus berjihad demi ummat.

Secara umum, jihad merupakan mencurahkan segala kemampuan manusia dalam suatu tujuan. Tentunya dalam kalimat jihaduna lil muslimin,  Maulana Syaikh menginginkan pemuda NW untuk mengeluarkan segala kemampuannya untuk kebaikan dan kemaslahatan warga nahdliyyin dan nahdliyyat khususnya, serta bagi semua umat islam dan masyarakat Indonesia. Tidak ada kata ataupun kalimat dari Maulana Syaikh yang menyempitkan gerak pemuda.

Pertanyaannya adalah:

1.      Apakah pemuda yang diinginkan Maulana Syaikh sudah kita wujudkan?

2.      Apakah para orang tua sudah memfasilitasi untuk para pemuda mewujudkan cita-citanya?

3.      Seberapa besarkah peranan pemuda pada NW selama ini?

Mungkin sedikit gambaran tentang jawaban pertanyaan di atas:

1.      Sudah bukan hal asing lagi pada pemuda NW yang meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan tiap tahunnya ada puluhan pemuda yang pergi melanjutkan pendidikannya, baik ke dalam maupun luar negeri, baik untuk jenjang S1, S2 bahkan S3. Dan ada puluhan juga pemuda yang kembali, baik dari dalam maupun luar negeri. Setidaknya itu menggambarkan cita-cita Maulana yang mengidamkan fityan al-ulum sudah mulai terbuktikan.

2.      Ada pepatah yang mengatakan, “ibarat menangkap 2 belalang dalam satu waktu”. Para orang tua NW umumnya menduduki posisi strategis lebih dari satu. Banyak diantara mereka yang menduduki dua bahkan tiga jabatan, padahal pemuda-pemuda NW yang berkualitas bisa menempati dan menjalankan amanah kepemimpinan tersebut. Ini adalah salah satu penyebab NW belum bisa bersaing di kancah nasional. Dan pemuda-pemuda terbaik yang memiliki taring tajam di luar tadi menjadi macan ompong yang tak berdaya lagi. Para pejabat NW tidak ada yang fokus dalam perjuangan, bahkan banyak yang datang ketika ada uang. Tidak ada uang NW ditendang. Na’udzubillah.

3.      Pemuda NW dalam segala aktifitas atau struktur organisasi tidak diberikan waktu dan kesempatan untuk memberikan peran yang positif dan lebih lagi. Banyak dari pemuda hanya misalkan memasang bendera di jalan-jalan, mengawal dan menjaga pejabat-pejabat (orang tua),  memasang spanduk dan sejenisnya. Dalam acara dan kegiatan besar, jarang kita temukan pemuda dalam struktur inti, masih saja selalu didominasi oleh orang-orang lama, yang sangat sedikit memberikan peran dan perubahan, sehingga dari dulu sampai sekarang NW hanya dan hanya seperti dulu (belum melangkah apalagi melompat). Namun, hal yang aneh adalah tidak ada sedikitpun pergerakan atau perubahan yang dilakukan oleh pengurus NW, walaupun kesuksesan belum juga didapatkan. Para pemuda masih dilihat seperti anak kecil yang belum siap mengendarai mobil, apalagi pesawat.

WALLAHU A’LAM.

MARI KITA DISKUSIKAN, APAKAH KITA SUDAH MENJADI PEJUANG ATAUKAH MASIH SEBAGAI PECUNDANG???????????

والله الموفق والهادى الى سبيل الرشاد

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته




[1] Kotong (Badi’ Sasak: kategori tahsin al-shaut) merupakan bahasa sasak, yang berarti hangus terbakar. Memberikan makna kata-kata itu hanya lintasan kalimat untuk menyalahkan generasi muda. Tanpa ada solusi, baik berupa bimbingan, kesempatan dalam menempuh dan meraih kedewasaan serta kecerdasan tersebut.
[2] إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رُشْدًا {10} الخ
Artinya:
 (ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)."…dst.
[3] Syahid Muthahhari. Membangun Generasi Qur’ani. 2012. Penerbit Citra. Jakarta. Hal.161.
[4] Nahdliyyin disini sebutan bagi warga Nahdlatul Wathan, bukan Nahdlatul Ulama’.
[5] Lihat kitab Adawat Nahwiyyah fi al-Kutub at-Tafsir. Dr.Mahmud Ahmad as-Shogbir. Hal.901. “mengidhofahkan dengan sesuatu yang besar dan mulia, menunjukkan makna taukid dan ta’zhim. Seperti kata رسول الله , itu menunjukkan betapa kuat dan mulianya seorang Rasul yang disandarkan pada lafazh Allah”. Begitu juga dengan kata fityan al-‘ulum, fityan yang berarti pemuda disandarkan pada kata ‘ulum yang sedang dalam bentuk jamak taksir dari kata ‘ilm, ilmu merupakan sesuatu pemberian Allah yang sangat mulia, jadi yang disandarkan padanya akan ikut mulia dan masuk dalam lingkup proses menjadi ilmuan/cendikiawan.
[6] M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Jilid 3. Lentera Hati. Jakarta. 2012. Hlm. 298-299
[7] Lihat kitab al-Minhajul al-Mukhtashor fi ‘Ilmai an-Nahwi wa al-Sharf. Abdullah bin Yusuf al-Judai’. Hal. 22. “fi’il mudhori’ bermakna istimroriyyah

 sumber : http://agusdus11.blogspot.co.id/2014/06/pemuda-nahdlatul-wathan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah berkomentar di laman blog kami