Selasa, 24 Mei 2016

DOKUMENTASI SAAT IKHTIBAR NISFUS-SANAH DAN AKHIRUS-SANAH TAHUN DIROSAH 1436-1437 H / 2015-2016 M









KENANGAN PRAKTIK FIQIH 2016




PEMUDA NAHDLATUL WATHAN DAN MAKNA LAGU NW



PEMUDA NAHDLATUL WATHAN

(Mengharap Jadi Pejuang, Bukan Pecundang)

Sebelum melangkah pada diskusi, mari kita sama-sama menyanyikan lagu perjuangan ini, sebagai penyemangat dan penggerak hati kita untuk berjuang:

MARS NW

Cipt. Hamzanwadi

Kami benihan Nahdlatul Wathan yang setia

Mengorbankan jiwa membela nusa dan bangsa

Agar umat seluruh bersatu raga

Marilah kita hindarkan pengaruhnya setan durhaka

Teguhkan hati janganlah mundur

Walau setapak kaki

Serta tulus ikhlas kepada Tuhan

Jangan tinggi karena puji

Mari kita lenyapkan

Agar Nahdlatul Wathan yang perwira

Hidup makmur serta jaya

Dalam aman sentosa 2x

Maulana Syaikh mengisyaratkan dalam lagu, syair, dan pesan-pesan beliau agar pemuda atau generasi muda Nahdlatul Wathan tidak hanya sekedar berjuang menuntut ilmu, tapi lebih dari itu.

Perjuangan pemuda amatlah luas, sebagai gambaran sedikit, mari kita renungkan bait yang satu ini “جهادنا للمسلمين”. للمسلمين menegaskan bahwa pemuda NW jangan dikesampingkan dalam organisasi, tapi harus dilibatkan, jangan dijauhkan dari masyarakat dan Negara, perjuangan pemuda NW haruslah merata dalam segala bidang.

Pandangan orang tua tentang pemuda yang hanya bisa anarkis, egois pendemo, dan emosional, tidaklah semua berasal dari pemuda itu sendiri, melainkan bisa jadi karena kesalahan dari orang tua itu juga. Para orang tua selalu menasehati pemuda dengan mengatakan, “hendaklah kalian (pemuda) itu lebih dewasa, lebih berfikir dan lebih produktif serta cerdas”. Namun, kenyataan dari pernyataan itu hanyalah kosong, kotong[1], konyol.

Sebagai pemuda, generasi NW dan bangsa Indonesia, mari bertanya pada kenyataan yang kita alami masing-masing, apakah selama ini kita sebagai pejuang??? Ataukah hanya sebagai pecundang???.

Sebelum menjawab pertanyaan tadi, terlebih dahulu mari netralkan pandangan kita, untuk menjawab secara objektif, tanpa menyalahkan diri sendiri atau orang lain, tanpa buruk sangka atau bersikap subjektif, serta kita buka pikiran dan hati kita, dengan merenungkan hakikat diri sebagai pemuda.

Hakikat Pemuda

Menurut UU No. 40 Tahun 2009, pemuda adalah generasi yang berkisar antara usia 16 – 30 tahun. Memang kalau dari sisi perkembangan kejiwaan, usia pemuda khususnya pada tahapan awal, rentan dengan upaya pencarian identitas diri yang terkadang terjerumus pada aktivitas yang sebetulnya tidak produktif dan antinilai.

Pemuda adalah golongan manusia-manusia muda yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan ke arah yang lebih baik, agar dapat melanjutkan dan mengisi pengembangan yang kini telah berlangsung.

Ada sebuah kisah menarik, yang mungkin bisa jadi pegangan makna bagi generasi muda, khususnya pemuda NW. Dalam sebuah riwayat atau kisah, Imam Ja’far bin Muhammad al-Shadiq berkata kepada Sulaiman bin Ja’far al-Hadhali, “wahai Sulaiman, apa yang dimaksud dengan pemuda (al-Fata)?” ia menjawab, “semoga aku menjadi tebusan bagimu ! menurut pendapatku, seorang pemuda adalah seorang yang berusia muda”. Imam Ja’far berkata: “namun engkau harus tahu bahwa sesungguhnya Ashhabul Kahfi semuanya berusia tua, tapi Allah menganggap mereka sebagai anak-anak muda yang memiliki keimanan sejati[2]. Wahai Sulaiman: “orang yang percaya kepada Allah dan memiliki kesadaran tentang-Nya, maka ia adalah seorang pemuda”.

Dari definisi atau pernyataan di atas, kita bisa simpulkan bahwa, dari segi usia, batas usia muda adalah 30 tahun. Sedangkan pada kisah atau pernyataan kedua, tidak ada batas usia bagi sebutan generasi muda, tapi lebih dilihat dari seberapa kuat imannya, produktifitas dan perkembangan pemikirannya, serta kebaikan dan manfaat yang dibuat selama menjalani kehidupan.

Dalam pembahasan tentang hakikat pemuda pada kali ini, bukanlah merujuk pada pembatasan umur atau tingkat usia, tapi menunjuk kepada definisi atau pernyataan kedua yaitu kelompok manusia yang mau berjerih payah untuk terus belajar dan meneliti, terbuka dengan peradaban-peradaban baru, mengembangkan cara berpikir dan intelektualitas yang jujur, beradab dan mulia, serta mau berbagi atas berbagai karunia ilahi yang diterimanya, baik mereka itu berusia muda atau umurnya sudah tua.

Meskipun kebanyakan orang-orang seperti itu berasal dari kalangan yang usianya muda, sehingga dirasa lebih cocok memilih frase generasi muda. Perlu diingat, bahwa kita mungkin pernah menyaksikan adanya sejumlah orang-orang yang berumur lebih tua yang memiliki cara pemikiran baru, yakni yang selalu berkembang dan maju. Sebaliknya, tak sedikit pula kaum berusia muda yang pola piker dan keimanannya menyerupai generasi tua, yakni yang jumud dan merasa gagah dengan status usia mudanya.[3]

Pemuda Nahdlatul Wathan

Setelah memaparkan hakikat pemuda di atas secara umum, perlu sekiranya kita bahas juga sedikit tentang hakikat pemuda Nahdlatul Wathan secara khusus. Agar sebagai pemuda/generasi muda NW menjadi lebih sadar dan cerdas, faham dan tangkap dalam menjalankan aktifitas sebagai pemuda, hingga kita bisa memahami diri kita, apakah selama ini kita sebagai pejuang ataukah sebatas pecundang.

Maulana Syaikh, guru besar kita selaku pendiri NWDI, NBDI serta NW sebenarnya telah menjelaskan pemuda idaman beliau, pemuda yang akan terus tumbuh dan berkembang untuk memperjuangkan NW, Agama, Nusa dan Bangsa. Dalam syair yang sudah sangat masyhur di kalangan Nahdliyyin[4], yaitu:

نحن فتيان العلوم    كل يوم لا ننوم

آمالنا فوق النجوم    جهادنا للمسلمين

Secara singkat, dari syair di atas kita bisa mendefinisikan pemuda menurut Maulana Syaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid adalah orang yang senantiasa menggali dan meningkatkan intlektualitasnya, istiqomah dalam berjuang, memiliki cita-cita tinggi untuk agama, Negara dan NW, serta tinggi tingkat emosional dan spiritualnya.


Interpretasi bait-bait syair:

Interpretasi ini hanya bagian dari pemahaman saya, masih banyak makna-makna yang tersirat yang diinginkan oleh Maulana Syaikh, masih banyak pesan-pesan bagi pemuda Nahdlatul Wathan yang perlu kita kaji dan diskusikan bersama. Untuk mendapatkan makna yang mendekati dari makna sesungguhnya.

Pertama, Ketika beliau meng-idhofah-kan kata fityan dengan ‘ulum[5], adalah sebuah penghormatan dan penghargaan yang sangat tinggi bagi kita selaku pemuda Nahdlatul Wathan. Hal tersebut tentunya harus ditopang dan didukung dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tidak putus sampai SMA, atau MDQH/S1, tapi fityanul ‘ulum mengisyaratkan sampai titik tertinggi dari sebuah pendidikan, S2, S3 bahkan sampai menjadi Profesor/ilmuan. Yang tentunya akan meningkatkan produktifitas dan pemikiran maju kita.

Dalam Al-Qur’an surat Fathir: 28 dijelaskan:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

M. Quraish Shihab dalam Al-Lubab menjelaskan dengan ringkas tentang ayat ini, bahwa: diantara manusia, binatang melata, dan binatang ternak, bermacam-macam juga bentuk, ukuran, jenis dan warnanya. Sebagian dari penyebab perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuwan dan karena itu sesungguhnya yang takut lagi kagum kepada Allah swt di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’/para ilmuwan. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Pengetahuan dan fenomena alam dan sosial, demikian juga pengetahuan agama, mestinya menghasilkan khasyat, yakni rasa takut disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan Al-Qur’an bahwa memiliki sifat tersebut hanya ulama’. Mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya tidak wajar dinamai ulama/cendikiawan.[6]

Dari ayat Al-Qur’an dan tafsirannya tadi, bisa dikiaskan maknanya dalam ke-NW-an kita bahwa salah satu yang bisa memajukan dan mewujudkan cita-cita besar NW adalah fityan al-‘ulum, pemuda-pemuda NW yang berintlektual tinggi. Tidak ada alasan untuk menyampingkan pejuang-pejuang muda dalam perjuangan Nahdlatul Wathan dan bangsa.

Kedua, Kemudian beliau melanjutkan dengan kata لاننوم, sebuah kata yang menunjukkan pemuda yang istiqomah, disiplin dan giat. La nanum bukan berarti tidak tidur, tapi itu berarti sebuah proses[7] untuk senantiasa siap dan sigap, selalu melawan rasa malas dan lemas. Ketika ada permasalahan, tidak serta merta melepas dan acuh tak acuh, tapi memberikan kontribusi demi kemajuan dan kemaslahatan.

Dalam ruang lingkup Nahdlatul Wathan, kita sebagai pemuda tidak ingin lihat organisasi kita pakum, mabniy ‘ala al-sukun, kita tidak ingin generasi demi generasi NW yang tidak mlek terhadap perkembangan peradaban dunia. Kita ingin NW me-nasional bahkan mendunia sesuai dengan cita-cita pendirinya, yakni “وانشر لواء نهضة الوطن فى العالمين”, kita juga sebagai pemuda ingin berkontribusi besar terhadap organisasi, agama dan masyarakat serta Negara.

Ketiga, Bercita-cita tinggi, motivasi dan semangat yang luar biasa. Sebagai pemuda, kita harus merencanakan langkah perjuangan kita sekian langkah ke depan. Seperti bermain catur, gerak gerik tiap buah catur harus kita rencanakan langkahnya masing-masing dalam tiga sampai lima langkah bahkan lebih ke depannya, untuk menggapai sebuah cita-cita dan kemenangan.

Keempat, setelah melalui proses melalui pendidikan, kedisiplinan, ketekunan dan cita-cita tinggi, sebagai pemuda harus berjihad demi ummat.

Secara umum, jihad merupakan mencurahkan segala kemampuan manusia dalam suatu tujuan. Tentunya dalam kalimat jihaduna lil muslimin,  Maulana Syaikh menginginkan pemuda NW untuk mengeluarkan segala kemampuannya untuk kebaikan dan kemaslahatan warga nahdliyyin dan nahdliyyat khususnya, serta bagi semua umat islam dan masyarakat Indonesia. Tidak ada kata ataupun kalimat dari Maulana Syaikh yang menyempitkan gerak pemuda.

Pertanyaannya adalah:

1.      Apakah pemuda yang diinginkan Maulana Syaikh sudah kita wujudkan?

2.      Apakah para orang tua sudah memfasilitasi untuk para pemuda mewujudkan cita-citanya?

3.      Seberapa besarkah peranan pemuda pada NW selama ini?

Mungkin sedikit gambaran tentang jawaban pertanyaan di atas:

1.      Sudah bukan hal asing lagi pada pemuda NW yang meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan tiap tahunnya ada puluhan pemuda yang pergi melanjutkan pendidikannya, baik ke dalam maupun luar negeri, baik untuk jenjang S1, S2 bahkan S3. Dan ada puluhan juga pemuda yang kembali, baik dari dalam maupun luar negeri. Setidaknya itu menggambarkan cita-cita Maulana yang mengidamkan fityan al-ulum sudah mulai terbuktikan.

2.      Ada pepatah yang mengatakan, “ibarat menangkap 2 belalang dalam satu waktu”. Para orang tua NW umumnya menduduki posisi strategis lebih dari satu. Banyak diantara mereka yang menduduki dua bahkan tiga jabatan, padahal pemuda-pemuda NW yang berkualitas bisa menempati dan menjalankan amanah kepemimpinan tersebut. Ini adalah salah satu penyebab NW belum bisa bersaing di kancah nasional. Dan pemuda-pemuda terbaik yang memiliki taring tajam di luar tadi menjadi macan ompong yang tak berdaya lagi. Para pejabat NW tidak ada yang fokus dalam perjuangan, bahkan banyak yang datang ketika ada uang. Tidak ada uang NW ditendang. Na’udzubillah.

3.      Pemuda NW dalam segala aktifitas atau struktur organisasi tidak diberikan waktu dan kesempatan untuk memberikan peran yang positif dan lebih lagi. Banyak dari pemuda hanya misalkan memasang bendera di jalan-jalan, mengawal dan menjaga pejabat-pejabat (orang tua),  memasang spanduk dan sejenisnya. Dalam acara dan kegiatan besar, jarang kita temukan pemuda dalam struktur inti, masih saja selalu didominasi oleh orang-orang lama, yang sangat sedikit memberikan peran dan perubahan, sehingga dari dulu sampai sekarang NW hanya dan hanya seperti dulu (belum melangkah apalagi melompat). Namun, hal yang aneh adalah tidak ada sedikitpun pergerakan atau perubahan yang dilakukan oleh pengurus NW, walaupun kesuksesan belum juga didapatkan. Para pemuda masih dilihat seperti anak kecil yang belum siap mengendarai mobil, apalagi pesawat.

WALLAHU A’LAM.

MARI KITA DISKUSIKAN, APAKAH KITA SUDAH MENJADI PEJUANG ATAUKAH MASIH SEBAGAI PECUNDANG???????????

والله الموفق والهادى الى سبيل الرشاد

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته




[1] Kotong (Badi’ Sasak: kategori tahsin al-shaut) merupakan bahasa sasak, yang berarti hangus terbakar. Memberikan makna kata-kata itu hanya lintasan kalimat untuk menyalahkan generasi muda. Tanpa ada solusi, baik berupa bimbingan, kesempatan dalam menempuh dan meraih kedewasaan serta kecerdasan tersebut.
[2] إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رُشْدًا {10} الخ
Artinya:
 (ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)."…dst.
[3] Syahid Muthahhari. Membangun Generasi Qur’ani. 2012. Penerbit Citra. Jakarta. Hal.161.
[4] Nahdliyyin disini sebutan bagi warga Nahdlatul Wathan, bukan Nahdlatul Ulama’.
[5] Lihat kitab Adawat Nahwiyyah fi al-Kutub at-Tafsir. Dr.Mahmud Ahmad as-Shogbir. Hal.901. “mengidhofahkan dengan sesuatu yang besar dan mulia, menunjukkan makna taukid dan ta’zhim. Seperti kata رسول الله , itu menunjukkan betapa kuat dan mulianya seorang Rasul yang disandarkan pada lafazh Allah”. Begitu juga dengan kata fityan al-‘ulum, fityan yang berarti pemuda disandarkan pada kata ‘ulum yang sedang dalam bentuk jamak taksir dari kata ‘ilm, ilmu merupakan sesuatu pemberian Allah yang sangat mulia, jadi yang disandarkan padanya akan ikut mulia dan masuk dalam lingkup proses menjadi ilmuan/cendikiawan.
[6] M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Jilid 3. Lentera Hati. Jakarta. 2012. Hlm. 298-299
[7] Lihat kitab al-Minhajul al-Mukhtashor fi ‘Ilmai an-Nahwi wa al-Sharf. Abdullah bin Yusuf al-Judai’. Hal. 22. “fi’il mudhori’ bermakna istimroriyyah

 sumber : http://agusdus11.blogspot.co.id/2014/06/pemuda-nahdlatul-wathan.html

Sabtu, 21 Mei 2016

PONPES SZ NW MENERIMA PESERTA DIDIK BARU TAHUN AJARAN 2016 / 2017 M.


SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA 1437 H SEMOGA AMAL IBADAH KITA DITERIMA NANTINYA OLEH ALLAH SWT. AAAMIIN


WANITA SIAPAKAH SUAMINYA DISYURGA




Kelak di surga tidak ada orang yang melajang. Dan kita akan dipertemukan kembali dengan pasangan kita masing-masing sampai anak cucu. Pertemuan kembali keluarga tersebut telah ditegaskan dalam firman Allah swt;
 
  وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ  
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan dengan apa yang dikerjakan” (Q.S. Ath-Thur: 21)
Pertemuan tersebut terlaksana sepanjang mereka adalah orang yang beriman, meskipun terdapat perbedaan dalam amal kebajikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas. 
 أَيْ: أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ فِي الْمَنْزِلَةِ الرَّفِيعَةِ فِي الْجَنَّةِ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا قَدْ شَارَكُوهُمْ فِي الْأَعْمَالِ بَلْ فِي أَصْلِ الْإِيمَانِ
“Maksudnya, Kami (Allah) pertemukan mereka dengan keluarga anak cucu mereka di tempat yang mulia di dalam surga meskipun mereka tidak sama amal kebajikannya, tetapi lebih karena keimanan” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, Mesir-Dar Thayyibah, cet ke-2, 1420 H/1999 M, juz, 3, h. 384)      
Lantas bagaimana jika seorang perempuan pernah menikah berkali-kali dan masuk surga, sedang mantan-mantan suaminya juga masuk surga, siapa di antara mereka yang akan menjadi suaminya di surga? Jawaban atas hal ini adalah bahwa kelak di antara mantan-mantan suaminya yang akan menjdai suaminya di surga adalah yang paling baik akhlaknya.
Jawaban ini diambil dari keterangan yang terdapat dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyyah karya Ibnu hajar al-Haitami. Beliau pernah di tanya dalam soal ini, dan untuk menjawbanya diajukan sebuah hadits yang diriwayatkan ath-Thabarani dari Ummi Salamah ra.
Ummi Salamah ra pernah bertanya kepada  Rasulullah saw tentang perempuan yang seorang perempuan menikah lebih dari satu kali kemudian meninggal dunia dan masuk surga, siapa yang menjadi suaminya di surga? Rasulullah saw pun menjawab, “Sungguh, ia (perempuan) diberi pilihan, kemudian ia akan memilih di antara mereka yang paling baik akhlaknya”. 
وَسُئِلَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ أَزْوَاجاً لِمَنْ تَكُونُ لَهُ مِنْهُمْ فِي الْآخِرَةِ ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ أَخْرَجَ الطَّبَرَانِي عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي صِفَةِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَدِيثاً طَوِيلاً وَفِيهِ ( قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ اَلْمَرْأَةُ تَتَزَوَّجُ الزَّوْجَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ وَالْأَرْبَعَةَ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ تَمُوتُ فَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَيَدْخُلُونَ مَعَهَا مَنْ يَكُونُ زَوْجُهَا مِنْهُمْ ؟ قَالَ  (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ):  إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقاً
“Ibnu Hajar ra pernah ditanya tentang perempuan yang menikah dengan beberapa orang, kelak di akhirat ia menjadi istri siapa di antara mereka? Kemudian beliau menjawab dengan mangajukan hadits Nabi saw yang panjang yang diriwayatkan ath-Thabari dari Ummi Salamah ra tentang gambaran penduduk surga. Di dalam hadits tersebut terdapat dialog antara Ummi Salamah ra dengan Rasulullah saw; ‘Saya (Ummi Salamah ra) bertanya kepada Rasulullah saw. Wahai Rasulullah, seorang perempuan semasa hidupnya menikah dua kali, tiga kali, atau empat kali kemudian ia meninggal dunia dan masuk surga, sedang mantan-mantan suaminya juga masuk surga bersamanya, siapakah di antara mereka yang menjadi suaminya di surga? Rasulullah saw pun menjawab; ‘Sungguh ia diberi pilihan, kemudian ia akan memilih di antara mereka yang paling baik budi pekertinya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 36)
Demikian Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami kepada para suami, jadilah suami yang baik bagi istri dan cintailah dengan tulus. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahu a'lam
 

BROSUR PONPES SYAIKH ZAINUDDIN NW L3 TENGGARONG SEBERANG


PEMBAGIAN PUASA MENURUT IMAM GOZALI

Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 505 H) dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din menguraikan dengan jelas dan bagus rahasia-rahasia puasa yang bersifat bathiniah, yang akan mengantarkan orang yang berpuasa menuju tingkatan puasa yang paling tinggi dan sempurna.

Ulama besar madzhab Syafi’i dan rektor Universitas Nizhamiyah kota Naisabur itu berkata:

اعلم أن الصوم ثلاث درجات: صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص.
أما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة.
وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام.
وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية، ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر وبالفكر في الدنيا إلا دنيا تراد للدين، فإن ذلك من زاد الآخرة وليس من الدنيا حتى قال أرباب القلوب: من تحركت همته بالتصرف في نهاره لتدبير ما يفطر عليه كتبت عليه خطيئة، فإن ذلك من قلة الوثوق بفضل الله عز وجل وقلة اليقين برزقه الموعود، وهذه رتبة الأنبياء والصديقين .
Sesungguhnya ada tiga tingkatan puasa: biasa(Umum), khusus dan sangat khusus(Istimewa).
Puasa biasa, maksudnya adalah menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka waktu tertentu.

Puasa khusus, maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa.

Sedang puasa yang sangat khusus, maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari memikirkan perkara perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat Allah swt. dan akhirat. Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai mengingat perkara perkara duniawi selain Allah dan tidak untuk akhirat. Puasa yang dilakukan dengan mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali mendorong ke arah pemahaman agama, karena ini merupakan bekal akhirat dan tidak termasuk bagian duniawi.

Orang-orang yang mempunyai hati yang bersih berkata : Barang siapa keinginannya bergerak untuk bekerja pada siang harinya buat ngurusi persiapan makan (untuk buka puasa) maka itu suatu perbuatan yang dosa. Hal itu karena dari rasa tak yakin terhadap karunia serta janji Allah swt. untuk mencukupkan (dengan) rezeki Nya.

Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya.

وأما صوم الخصوص وهو صوم الصالحين فهو كف الجوارح عن الآثام وتمامه بستة أمور:

 الأول: غض البصر وكفه عن الاتساع في النظر إلى كل ما يذم ويكره وإلى كل ما يشغل القلب ويلهي عن ذكر الله عز وجل قال صلى الله عليه وسلم " النظرة سهم مسموم من سهام إبليس لعنه الله فمن تركها خوفاً من الله آتاه الله عز وجل إيماناً يجد حلاوته في قلبه " وروى جابر عن أنس عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال " خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
" .
Puasa khusus adalah jenis ibadah yang diamalkan sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa dan harus pula memenuhi keenam syaratnya:

1.    Tidak melihat apa yang dibenci dan dicella oleh Allah atau yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, “pandangan adalah salah satu dari panah-panah beracun milik setan, yang telah dikutuk Allah. Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata karena takut kepada Nya, niscaya Allah swt. akan memberinya keimanan, dan menemukan manisnya iman dalam hatinya. ”. sahabat Jabir meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang: berdusta, mengurnpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan memandang dengan penuh nafsu.”

 الثاني: حفظ اللسان عن الهذيان والكذب والغيبة والنميمة والفحش والجفاء والخصومة والمراء، وإلزامه السكوت وشغله بذكر الله سبحانه وتلاوة القرآن فهذا صوم اللسان. وقد قال سفيان: الغيبة تفسد الصوم. رواه بشر بن الحارث عنه. وروى ليث عن مجاهد: خصلتان يفسدان الصيام الغيبة والكذب. وقال صلى الله عليه وسلم " إنما الصوم جنة فإذا كان أحدكم صائماً فلا يرفث ولا يجهل وإن امرؤ قاتله أو شاتمه فليقل إني صائم إني صائم " وجاء في الخبر " أن امرأتين صامتا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فأجهدهما الجوع والعطش من آخر النهار حتى كادتا أن تتلفا فبعثتا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يستأذناه في الإفطار فأرسل إليهما قدحاً وقال صلى الله عليه وسلم: قل لهما قيئا فيه ما أكلتما فقاءت إحداهما نصفه دماً عبيطاً ولحماً غريضاً وقاءت الأخرى مثل ذلك حتى ملأتاه فعجب الناس من ذلك فقال صلى الله عليه وسلم هاتان صامتا عما أحل الله لهما وأفطرتا على ما حرم الله تعالى عليهما. قعدت إحداهما إلى الأخرى فجعلتا يغتابان الناس فهذا ما أكلتا من لحومهم
"
2. Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan kasar, melontarkan kata kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi); dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca [mengkaji] al-Qur’an. Inilah puasa lisan. Said Sufyan berkata, “Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, ‘Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong.”
Rasulullah saw. bersabda, “Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa’!”

الثالث: كف السمع عن الإصغاء إلى كل مكروه لأن كل ما حرم قوله حرم الإصغاء إليه ولذلك سوى الله عز وجل بين المستمع وآكل السحت فقال تعالى " سماعون للكذب أكالون للسحت " وقال عز وجل " لولا ينهاهم الربانيون والأحبار عن قولهم الإثم وأكلهم السحت " فالسكوت على الغيبة حرام وقال تعالى " إنكم إذاً مثلهم " ولذلك قال صلى الله عليه وسلم " المغتاب والمستمع شريكان في الإثم
"
3.    Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Itulah mengapa Allah swt. tidak membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram). Dalam al Qur’an Allah swt. berfirman, “Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal.”
Demikian juga dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, “Mengapa para rabbi dan pendeta di kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan memakan barang terlarang?”
Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat. Allah swt. berfirman dalam wahyu Nya, ‘Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun seperti mereka” Itulah mengapa Rasulullah saw. mengatakan, “Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa.” .

الرابع: كف بقية الجوارح عن الآثام من اليد والرجل عن المكاره، وكف البطن عن الشبهات وقت الإفطار. فلا معنى للصوم وهو الكف عن الطعام الحلال ثم الإفطار على الحرام. الى ان قال. وقد قال صلى الله عليه وسلم " كم من صائم ليس له من صومه إلا الجوع والعطش " فقيل هو الذي يفطر على الحرام، وقيل هو الذي يمسك عن الطعام الحلال ويفطر على لحوم الناس بالغيبة وهو حرام، وقيل هو الذي لا يحفظ جوارحه عن الآثام
.

4.     Menjaga (sikap perilaku) semua anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat) ketika berbuka puasa. Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan yang halal kemudian berbuka dengan makanan haram.
Bersabda Rasulullah saw, “Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!” (Hr. an Nasa’i, Ibnu Majah). Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari berbuat dosa.

 الخامس: أن لا يستكثر من الطعام الحلال وقت الإفطار بحيث يمتلىء جوفه فما من وعاء أبغض إلى الله عز وجل من بطن مليء من حلال. وكيف يستفاد من الصوم قهر عدو الله وكسر الشهوة إذا تدارك الصائم عند فطره ما فاته ضحوة نهاره وربما يزيد عليه في ألوان الطعام؟ حتى استمرت العادات بأن تدخر جميع الأطعمة لرمضان فيؤكل من الأطعمة فيه ما لا يؤكل في عدة أشهر. ومعلوم أن مقصود الصوم الخواء وكسر الهوى لتقوى النفس على التقوى. وإذا دفعت المعدة من ضحوة نهار إلى العشاء حتى هاجت شهوتها وقويت رغبتها ثم أطعمت من اللذات وأشبعت زادت لذتها وتضاعفت قوتها وانبعث من الشهوات ما عساها كانت راكدة لو تركت على عادتها. فروح الصوم وسره تضعيف القوى التي هي وسائل الشيطان في العود إلى الشرور، ولن يحصل ذلك إلا بالتقليل وهو أن يأكل أكلته التي كان يأكلها كل ليلة لو لم يصم فأما إذا جمع ما كان يأكل ضحوة إلى ما كان يأكل ليلاً فلا ينتفع بصومه. بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه ويستديم في كل ليلة قدراً من الضعف حتى يخف عليه تهجده وأوراده، فعسى الشيطان أن لا يحوم على قلبه فينظر إلى ملكوت السماء. وليلة القدر عبارة عن الليلة التي ينكشف فيها شيء من الملكوت وهو المراد بقوله تعالى " إنا أنزلناه في ليلة القدر " ومن جعل في قلبه وبين صدره مخلاة من الطعام فهو عنه محجوب. ومن أخلى معدته فلا يكفيه ذلك لرفع الحجاب ما لم يخل همته عن غير الله عز وجل
.
5.    Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain perut yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal.
Dapatkah puasa bermanfaat sebagai cara mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila kita berbuka menyesaki perut dengan apa yang biasa kita makan siang hari? Terlebih lagi, biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan, yang justru di hari-hari biasa tidak tersedia.
Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa. Dan usahakan hal itu ditetapkan hingga malam hari agar ia ringan untuk melakukan shalat tahajjud dan wirid-wirid.
Oleh karena itu, barangsiapa telah “meletakkan” kantung makanan di antara hati dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meskipun perutnya kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang antara dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan mengingat kepada Allah swt. semata. Demikian adalah puncak segalanya, dan titik mula dari semuanya itu adalah mengosongkan perut dari makanan.

السادس: أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مضطرباً بين الخوف والرجاء إذ ليس يدري أيقبل صومه فهو من المقربين أو يرد عليه فهو من الممقوتين؟ وليكن كذلك في آخر كل عبادة يفرغ منها فقد روي عن الحسن بن أبي الحسن البصري أنه مر بقوم وهم يضحكون فقال: إن الله عز وجل جعل شهر رمضان مضماراً لخلقه يستبقون فيه لطاعته فسبق قوم ففازوا وتخلف أقوام فخابوا فالعجب كل العجب للضاحك اللاعب في اليوم الذي فاز فيه السابقون وخاب فيه المبطلون. أما والله لو كشف الغطاء لاشتغل المحسن بإحسانه والمسيء بإساءته أي كان سرور المقبول يشغله عن اللعب وحسرة المردود تسد عليه باب الضحك. وعن الأحنف بن قيس: أنه قيل له إنك شيخ كبير وإن الصيام يضعفك فقال: إني أعده لسفر طويل والصبر على طاعة الله سبحانه أهون من الصبر على عذابه. فهذه هي المعاني الباطنة في الصوم.
6.    Setelah berbuka puasa, selayaknya hati berada diantara takut (khauf) dan harap [raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.
Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, ‘Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya.” Dengan kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.
Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya, “Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu.” Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab, “Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah swt. tentu akan lebih mudah daripada menanggung siksa Nya.”
Demikianlah, semua itu adalah makna signifikan puasa.

 فإن قلت: فمن اقتصر على كف شهوة البطن والفرج وترك هذه المعاني فقد قال الفقهاء. صومه صحيح فما معناه؟ فاعلم أن فقهاء الظاهر يثبتون شروط الظاهر بأدلة هي أضعف من هذه الأدلة التي أوردناها في هذه الشروط الباطنة لاسيما الغيبة وأمثالها، ولكن ليس إلى فقهاء الظاهر من التكليفات إلا ما يتيسر على عموم الغافلين المقبلين على الدنيا الدخول تحته. فأما علماء الآخرة فيعنون بالصحة القبول وبالقبول الوصول إلى المقصود. ويفهمون أن المقصود من الصوم التخلق بخلق من أخلاق الله عز وجل وهو الصمدية، والاقتداء بالملائكة في الكف عن الشهوات بحسب الإمكان فإنهم منزهون عن الشهوات. والإنسان رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى بمجاهدتها، فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم، وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين والتحق بأفق الملائكة. والملائكة مقربون من الله عز وجل والذي يقتدي بهم ويتشبه بأخلاقهم يقرب من الله عز وجل كقربهم، فإن الشبيه من القريب قريب، وليس القرب ثم بالمكان بل بالصفات.
 وإذا كان هذا سر الصوم عند أرباب الألباب وأصحاب القلوب فأي جدوى لتأخير أكلة وجمع أكلتين عند العشاء مع الانهماك في الشهوات الأخر طول النهار؟ ولو كان لمثله جدوى فأي معنى لقوله صلى الله عليه وسلم " كم من صائم ليس له من صومه إلا الجوع والعطش ".

Sekarang Anda mungkin mengatakan, “Dengan menahan makan, minum dan nafsu seksual, tanpa harus memperhatikan syarat batin itu menurut pendapat para (fuqaha') ahli fiqh , sudah sah. Lalu mengapa demikian?”
Anda harus menyadari bahwa para ulama fiqh telah menetapkan syarat-syarat lahiriah puasa dengan dalil-dalil yang lebih lemah dibanding dalil dalil yang menopang perlunya ditepati syarat syarat batiniah. Misalnya saja tentang mengumpat dan yang sejenis. Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama fiqih memandang batas kewajiban puasa dengan hanya mempertimbangkan pada kapasitas orang awam yang sering lalai, mudah terperangkap dalam urusan duniawi.
Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hari Akhir, akan memperhatikan sungguh-sungguh dan memenuhi dengan syarat batin, sehingga ibadahnya sah dan diterima.
Hal demikian itu mereka capai dengan melaksanakan syarat-syarat yang akan mengantarkannya pada tujuan. Menurut pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu cara untuk menghayati salah satu akhlak Allah Swt, yaitu tempat meminta (shamadiyyah), sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan sedapat mungkin menghindari godaan nafsu, karena malaikat adalah makhluk yang terbebas dari dorongan serupa.
Sedang manusia mempunyai derajat di atas hewan, karena dengan tuntunan akal yang dimilikinya akan selalu sanggup mengendalikan nafsunya; namun ia inferior (sedikit lebih rendah) dari malaikat, karena masih dikuasai oleh hawa nafsu, maka ia pun harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa nafsunya.
Kapan pun manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia akan terjatuh dalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Kapan pun ia mampu mengatasinya, maka ia akan terangkat ke tingkatan para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah swt, karenanya malaikat pun menjadi contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah. Tentu dengan segala ibadah akan menjadikan diri semakin dekat dengan Nya. Hanya saja bukan dalam pengertian dekat dalam dimensi ruang, tetapi lebih pada kedekatan sifat.
Jika demikian itu adalah rahasia puasa bagi mereka yang memiliki kedalaman pemahaman spiritual, apakah manfaat menggabungkan dua (porsi) makan pada waktu berbuka, seraya memuaskan nafsu lain yang tertahan ketika siang hari. Dan kalaulah demikian mengandung faidzah, lalu apa makna Hadis Nabi saw. yang berbunyi, “Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga? 
Wallahu a'lam Bisshawab.

HUKUM SHALAT SUNNAH PADA MALAM NISFU SYA'BAN





Setelah Amaliyah-amaliyah yang telah saya sebutkan sebelumnya, biasanya terkait malam Nishfu Sya'ban juga terdapat Shalat Sunnah 6 Rakaat atau yang disebut Shalat nishfu Sya'ban(walau niatnya bukan niat Nishfu Sya'ban, tentang Hukumnya mari kita simak apayang telah disampaikan oleh para ulama.

Hukum Menurut Para Ulama Tashawuf (Shufi)

Yang dimaksud oleh Shufi atau ulama tashawuf disini ialah ulama yang telah mutabahhir fiddin(sangat mendalam ilmunya) mulai ilmu tashawuf, fiqh, nahwu danlain sebagainya, hanya saja mereka lebih dikenal sebagai Ulama Tashawuf. Hukum yang disampaikan ialah:

Disebutkankan oleh Sayyid Murtadha Azzabidi dalam Kitab Ittihafissadatil Muttaqin, Syarh Ihyaa` Ulumiddin juz 3 halaman 424:

وَقَدْ تَوَارَث الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ فِيْ إِحْيَاءِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ بِصَلَاةِ سِتِّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ صَلَاة الْمَغْرِبِ كُلُّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِيْمَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا بِالْفَاتِحَةِ مَرَّةً وَالْإِخْلَاصِ سِتَّ مَرَّاتٍ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ سُوْرَةَ يس مَرَّةً وَيَدْعُوْ اَلدُّعَاءَ الْمَشْهُوْرَ بِدُعَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَيَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى اَلْبَرَكَةَ فِي الْعُمْرِ ثُمَّ فِي الثَّانِيَةِ اَلْبَرَكَةَ فِي الرِّزْقِ ثُمَّ فِي الثَّالِثَةِ اَلْبَرَكَةَ فِيْ حُسْنِ الْخَاتِمَةِ

Ulama khalaf telah mewarisi para ulama salaf dalam menghidupkan malam Nishfu Sya'ban dengan melakukan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib, Tiap dua rakaat dengan satu salaman. Setiap satu rakaat membaca surat Al Fatihah satu kali dan Surat Al Ikhlas enam kali.
Usai shalat dua rakaat, membaca Surat Yasin satu kali dan berdoa dengan do'a yang telah masyhur yaitu do'a malam nisfu sya'ban dan berdoa memohon kepada Allah agar diberi keberkahan didalam umurnya, Bacaan kedua memohon agar agar diberi keberkahan didalam rizkinya, Bacaan ketiga memohon agar diberi keberkahan mendapat predikat husnul Khatimah(amaliyah dan doa ini telah saya posting dalam artikel sebelumnya).

وَذَكَرُوْا أَنَّ مَنْ صَلَّى هَكَذَا بِهَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ أُعْطِيَ جَمِيْعَ مَا طَلَبَ وَهَذِهِ الصَّلَاةُ مَشْهُوْرَةٌ فِيْ كُتُبِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ مِنَ السَّادَةِ الصُّوْفِيَّةِ وَلَمْ أَرَ لَهَا وَلَا لِدُعَائِهَا مُسْتَنَدًا صَحِيْحًا فِي السُّنَّةِ اِلَّا اَنَّهُ مِنْ عَمَلِ الْمَشَايِخِ

Ulama menuturkan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat seperti tata cara tersebut, akan diberi segala apa yang diinginkan.

Shalat ini masyhur didalam kitab-kitab ulama mutaakhkhirin dari Saadat Shufiyyah. Aku belum melihat sandaran yang shahih dari Assunnah mengenai shalat ini dan doanya, hanya saja hal itu adalah termasuk dari amaliyah para Masyayikh.
- Sedangkan dalam kitab majmu' fatwanya ibnu taimiyyah(ideolog Wahabiyah), juz 1 halaman 469 tertulis sbb :
وَسُئِلَ عَنْ صَلَاةِ نِصْفِ شَعْبَانَ ؟ .
فَأَجَابَ : إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ
.

Ibnu Taimiyah ditanyai tentang shalat nishfu sya'ban ?
beliau menjawab : " ketika seseorang shalat dimalam nisfu sya'ban secara sendirian atau secara berjama'ah khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok ulama' salaf maka itu lebih bagus." 
 
Hukum Menurut Para Ulama Fiqh(Faqih)

Yang dimaksud oleh ulama Fiqh disini ialah ulama yang telah mutabahhir fiddin(sangat mendalam ilmunya) mulai ilmu tashawuf, fiqh, nahwu dan lain sebagainya, hanya saja mereka lebih dikenal sebagai Ulama Fiqh. Hukum yang disampaikan ialah:
Hukum melakukan shalat sunnah mutlak pada malam Nishfu Sya’ban adalah mustahab (disunnahkan) karena Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat tersebut. Sementara jika shalat tersebut diniati nishfu sya’ban maka hukumnya haram, karena tidak ada tuntunan ibadah salat nishfu sya’ban. Bentuk salat sunah yang boleh dikerjakan pada malam Nishfu Sya’ban adalah salat sunah mutlak, salat Hajat, salat Tasbih, dan shalat apapun yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Catatan:
Kedudukan hukum mustahab adalah satu tingkat di bawah hukum sunnah.
Dasar Pengambilan Hukum:

ذكريات ومناسبات لسيد محمد بن علوى الملكى ص 155-156
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ e مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ e قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ

“Dari 'Ala' bin harits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)

Catatan:
1.      Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al harits adalah seorang Tabi'in yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah, prediksi Al Baihaqi menyebutkan Al ‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makkhul. Imam Ahmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu hatim berkata: Tidak ada murid Makhul yang lebih terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fiqh, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)

2.      Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadits Mursal sebagai hadits yang dapat diterima (Hadits Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau Tabi'in yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.

مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469
وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Ibnu Taimiyah(ulama Ideolag wahabiyah) ditanyai soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú' Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)

فيض القدير ج 2 ص 302
(تَنْبِيْهٌ) قَالَ المَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْلَةُ نِصْفِ شَعْبَانَ رُوِىَ فِى فَضْلِهَا مِنَ اْلأَخْبَارِ وَاْلأثَارِ مَا يَقْتَضِى أنَّهَا مُفَضَّلَةٌ وَمِنَ السَّلَفِ مَنْ خَصَّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا
“Ibnu Taimiyah berkata : Dari beberapa hadits dan pandapat para sahabat menunjukkan bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri. Sebagian ulama Salaf melaksanakan salat sunah secara khusus di malam tersebut”. (Faidl al-Qadír, II/302)

اعانة الطالبين ج 1 ص 271
قَالَ العَلاَّمَةُ الْكُرْدِى وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْهَا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَهَا طُرُقٌ إذَا اجْتُمِعَتْ وَصَلَ الْحَدِيْثُ إلَى حَدٍّ يُعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِنْهُمْ مَنْ حَكَمَ عَلَى حَدِيْثِهَا بِالْوَضْعِ وَمِنْهُمُ النَّوَوِى وَتَبِعَ الشَّارِحُ فِى كُتُبِهِ.
“Syeikh Al Kurdy berkata : Para Ulama berbeda pendapat mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan salat sunah malam Nishfu Sya’ban, diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut (meskipun Dlaif) memiliki banyak jalur riwayat, yang secara keseluruhan (akumulasi) hadits tersebut boleh dilaksanakan dalam hal Fadlailul A’mal (naik peringkat menjadi hadis hasan lighairihi). Diantara ulama yang lain menghukuminya sebagai hadits palsu, seperti Imam Nawawi dan Syekh Zainuddin Al Malibary”. (I'ánah al-Thálibín, I/271)

Sekian, amaliyah shalat Nishfu Sya'ban mendapat dukungan oleh para Ulama Salaf Maupun Khalaf, Ulama Shufi Maupun Ulama Fiqh jadi jangan ragu untuk mengamalkannya. Wallahu A'lam.