PENJELASAN TENTANG MADZHAB YANG HANYA PENDAPAT MANUSIA.
---------------------------------------------------------------------------
A. Mazhab Adalah Penjelasan Paling Sah Atas Isi Al-Quran dan As-Sunnah
Yang kita sepakati dari istilah mazhab adalah penjelasan yang asli,
otentik, baku dan ilmiyah tentang kandungan hukum Allah yang tertuang di
dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ternyata Al-Quran dan As-Sunnah yang kita
warisi dari Rasulullah SAW itu masih harus dijelaskan dulu sebelum kita
laksanakan.
Kenapa harus ada penjelasan? Bukankah Al-Quran dan hadits itu sendiri sudah merupakan penjelasan buat orang yang bertaqwa?
Pertanyaan agak-agak lugu tapi polos ini mungkin sering kita dengar
dari mulut saudara-saudara kita yang sedang belajar ilmu agama. Tidak
apa-apa, namanya saja masih belajar. Wajarlah kalau pertanyaannya agak
polos.
Jawabannya adalah bahwa orang-orang terbaik dari generasi
terbaik saja masih bermazhab dan tidak sok tahu menafsir-nafsirkan
ayat-ayat Allah SWT dengan akal pikiran dan nalar mereka sendiri. Mereka
masih tetap bertanya tentang Al-Quran, As-Sunnah dan hukum-hukum
syariah kepada Rasulullah SAW.
1. Shahabat Masih Harus Minta Penjelasan Al-Quran dari Rasulullah SAW
Pertanyaannya, mereke orang sekelas shahabat itu masih harus bertanya
tentang Al-Quran, padahal mereka mengalami turunnya Al-Quran. Dan bahkan
Al-Quran turun dalam bahasa mereka, yaitu bahasa Arab?
a. Kendala Bahasa dan Istilah
Memang benar ayat-ayat Al-Quran turun dalam bahasa Arab yang khas di
masa Nabi SAW. Namun yang harus diketahui dengan kualitas level bahasa
yang teramat tinggi sastranya. Sehingga terkadang tidak semua shahabat
mampu memahami kata per kata, kalimat per kalimat serta redaksi-redaksi
di ayat Al-Quran itu sendiri.
Seringkali mereka harus bertanya
lagi kepada Rasulullah SAW tentang apa maksud suatu ayat. Jadi Al-Quran
itu tidak otomatis jelas dan mudah dipahami, bahkan oleh merekea yang
selevel para shahabat sekalipun. Tetap saja mereka masih harus
mendapatkan penjelasan dulu dari Rasulullah SAW.
Bayangkan kalau
sekelas shahabat saja masih harus bertanya tentang isi Al-Quran dan
kandungan hukumnya, bagaimana mungkin orang di masa kini 15 abad setelah
turunnya Al-Quran, tidak paham bahasa Arab, tidak tahu asal muasal
turunnya ayat, tidak tahu jeluntrungannya, tiba-tiba mereka berhak untuk
menafsirkan sendiri? Lalu bikin fatwa aneh-aneh sambil melarang orang
bertanya kepada sumber rujukan aslinya, yaitu para shahabat?
Sungguh aneh dan tidak masuk akal, bukan?
b. Nasikh Wal Mansukh
Syariat Islam di dalam Al-Quran tidak turun sekaligus, tetapi
berproses. Berproses disini bukan sekedar ayat turun satu persatu,
tetapi lebih dari itu, kadang ada proses perubahan hukum seiring dengan
semakin banyaknya turun ayat.
Hukum yang sudah ditetapkan pada
satu ayat bisa saja diangulir dan diubah menjadi hukum yang lain oleh
ayat yang turun kemudian. Keharaman yang dibawa oleh suatu ayat bisa
diubah menjadi kehalalan oleh turunnya ayat berikutnya. Sebaliknya,
kehalalan yang didasarkan pada satu ayat, kemudian diharamkan oleh ayat
yang turun kemudian.
Banyak sekali orang awam di masa kini yang
sama sekali tidak tahu adanya ayat yang dinasakh atau dibatalkan
hukumnya. Dengan segala keluguannya mereka mengirasa semua ayat itu
berlaku hukumnya sama rata. Mereka tentu harus bertanya dulu kepada
sumber rujukan utama yaitu para shahabat. Tidak boleh asal main
keluarkan fatwa dan hukum seenaknya.
c. Tidak Semua Shahabat Merupakan Ahli Hukum
Satu hal lagi yang harus dicatat juga bahwa tidak semua shahabat itu
ahli dalam hukum agama, meskipun mereka hidup bersama Rasulullah SAW.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitab I'lamul Muwaqqi'in (إعلام
الموقعين) memperkirakan hanya sekitar 130-an orang saja dari para
shahabat yang punya kapasitas dalam mengistimbath hukum.
Padahal
kita tahu bahwa jumlah shahabat itu mencapai angka 124 ribu orang.
Dibandingkan yang ahli dalam istimbath hukum, ternyata jauh lebih banyak
mereka yang bukan ahlinya.
Oleh karena itu tidak bisa kita
pungkiri bahwa sesungguhnya para shahabat itu meski bisa bahasa Arab,
mengalami proses turunnya Al-Quran, bahkan menjadi tokoh langsung di
dalam ayat yang diturunkan, namun tetap tetap saja mereka harus bertanya
kepada Rasulullah SAW atau kepada shahabat senior yang sudah berlevel
ahli istimbath hukum. Maksudnya tetap harus bertanya kepada ahlinya
tentang isi kandungan hukum di dalam Al-Quran. Dan proses bertanya itu
yang kita sebut bermazhab.
Mereka yang hidup bersama Rasulullah
SAW saja masih harus bermazhab, bagaimana mungkin orang di zaman
sekarang merasa sudah pintar dan mereka berhak menafsir-nafsirkan ayat
Al-Quran seenaknya? Apakah mereka merasa lebih pintar dan lebih tinggi
ilmunya dari para shahabat?
2. Para Shahabat Mendapat Legalisasi Dari Rasulullah SAW Untuk Berfatwa
Menarik untuk dicermati, para sebagian shahabat yang memang telah
mendapatkan pendididukan khusus untuk menjadi ahli istimbath hukum ini
kemudian mendapatkan legalitas dari Rasulullah SAW. Tentu tidak semua
mereka mendapatkannya, melainkan hanya yang sudah mencapai derajat
ilmunya. Rasulullah SAW bersabda :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيِّينَ الرَاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para
penggantiku yang lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan
geraham. (HR. Ahmad)
Dengan hadits ini maka para shahabat ahli
istimbath hukum itu telah menjadi juru fatwa resmi yang telah
menandatangani 'kontrak' sebagai wakil Allah di muka bumi. Jabatannya
tentu bukan sebagai pembawa wahyu tetapi sebagai juru tafsir resmi dari
Al-Quran dan As-Sunnah.
Siapa saja yang mencoba
menafsir-nafsirkan ayat Al-Quran ataupun sunnah Rasulullah SAW
semata-mata hanya lewat akalnya sendiri, maka sudah dipastikan sesat,
keliru dan tidak bisa diterima.
Anehnya di zaman sekarang
bisa-bisanya ada orang yang tidak mengerti Al-Quran dan As-Sunnah,
tetapi malah mengaku-ngaku sebagai ahli fatwa, lalu bikin fatwa
seenaknya. Lucunya sampai bilang begini :
"Tinggalkan semua
perkataan manusia dan cukup Al-Quran dan As-Sunnah saja yang kita
pegang. Tidak usah merujuk kepada shahabat, tabi'in atau fuqaha, karena
mereka manusia dan sangat mungkin mengalami kesalahan".
Ungkapan
ini kelihatannya benar, tetapi sekaligus juga banyak pesan menyesatkan
tersirat di dalamnya. Di antarnya kesesatannya adalah sebagai berikut :
a. Sama Saja Mendustai Kenabian Muhammad SAW
Dengan mencoret peran para shahabat, tabi'in dan para fuqaha, otomatis
kita menutup penjelasan, ilmu dan pesan-pesan penting dari Rasulullah
SAW yang dititipkan kepada mereka. Dan itu berarti sama saja kita
mendustakan kenabian Muhammad SAW.
b. Bikin Agama Baru Mendompleng Agama Islam
Bila kita perpegang pada Al-Quran dan Sunnah, lalu kita tafsiri sendiri
semua isi kandungannya, seenak kita dan sesuai dengan selera kita
sendiri, maka sesungguhnya kita telah menciptakan agama baru.
Agama
itu sama sekali bukan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tetapi
kita cuma mendompleng saja, sementara isi dan ajarannya 100% buatan akal
kita sendiri.
3. Para Shahabat Boleh Berbeda Pendapat
Dan
yang sangat menarik adalah meski sudah sah menjadi juru tafsir resmi
Al-Quran dan As-Sunnah oleh Rasulullah SAW, namun para shahabat ahli
istimbath hukum tetap diberi 'kebebasan' untuk saling berbeda pendapat.
Dan sudah pasti bahwa perbedaan pendapat di tengah para shahabat tentu
tidak datang dari hawa nafsu pribadi, atau kepentingan kelompok
tertentu, atau motivasi uang, jabatan, kekayaan, popularitas dan hal-hal
rendah lainnya. Tentu saja mereka suci dari semua tuduhan itu.
Sebab Allah SWT menjamin bahwa mereka itu mendapat ridha dari Allah SWT
dan dalam hadits yang shahih mereka 100% dipastikan masuk surga.
عَشْرَةٌ فيِ الجَنَّة : أَبُو بَكْر فيِ الجَنَّةِ وَعُمَر فيِ الجَنَّةِ
وَعُثْمَان فيِ الجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فيِ الجَنَّةِ وَطَلْحَة فيِ الجَنَّةِ
َوالزُّبَيْر فيِ الجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَن بنِ عَوْفٍ فيِ الجَنَّةِ
وَسَعِيدُ بْنُ مَالِكٍ فيِ الجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَة بْنُ الجَرَّاحِ
فيِ الجَنَّةِ - وَسَكَتَ عَنِ العَاشِـرِ ، قَالُوا : وَمَنْ هُوَ
العَاشِر ؟ فَقَالَ : " سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ " – يعني نفسه
Dari Said
bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Ada sepuluh orang di dalam surga
: Abu Bakar di dalam surga, Umar di dalam surga, Utsman di dalam surga,
Ali di dalam surga, Thalhah di dalam surga, Az-Zubair di dalam surga,
Abdurrahman bin Auf di dalam surga, Said bin Malik di dalam surga, Abu
Ubaidah Ibnul Jarrah di dalam surga, kemudian Said terdiam. Orang-orang
bertanya,”Siapa yang kesepuluh?”. Said menjawab,”Said bin Zaid”- yaitu
dirinya sendiri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
4. Boleh Memilih Mazhab Shahabat Yang Mana Saja
Ketika para shahabat yang sudah menjadi derajat ahli istimbath hukum
ini punya pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya, maka para
shahabat yang lain boleh memilih pendapat yang mana saja dari mereka.
Rasulullah SAW telah bersabda :
إِنَّ أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ
النُّجُومِ فِي السَّمَاءِ فَأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ
وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ
Para shahabatku bagaikan
gemintang di langit. Pendapat siapapun yang kamu ambil tetap dapat
petunjuk. Perbedaan pendapat mereka jadi rahmat bagi kamu. (HR.
Al-Baihaqi)
Dalam kenyataannya ada mazhab Abu Bakar, mazhab
Umar, mazhab Ustman, mazhab Ali, mazhab Ibnu Abbas, mazhab Ibnu Umar,
mazhab Ibnu Mas'ud, mazhab Aisyah, mazhab Ummu Salamah dan lainnya.
Mereka bisa saja berbeda pendapatnya, namun semuanya berada di dalam
wilayah kebenaran dan petunjuk dari Rasulullah SAW.
Maka kepada
pendapat, fatwa serta mazhab para shahabat itulah kita wajib
berpegang-teguh. Sebab pada hakikatnya kita sedang kembali kepada
Al-Quran dan As-Sunnah dengan cara yang benar. Bukan dengan penafsiran
hawa nafsu atau selera masing-masing.
Seratusan tahun sepeninggal
para shahabat, Umar bin Abdul Aziz menyatakan sangat bahagia ketika
mengetahui dahulu para shahabat ternyata berbeda pendapat.
Saya
kurang suka kalau para shahabat tidak berbeda pendapat. Bila hanya satu
pendapat, pastilah orang merasakan kesempitan. (Umar bin Abdul Aziz)
B. Mazhab Empat Adalah Titisan Mazhab Para Shahabat
Sampai disini mungkin ada yang menyatakan keheranan, yang ditanya
apakah kita harus bermazhab, maksudnya adalah empat mazhab yaitu
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Kenapa
penjelasannya malah menerangkan mazhab-mazhab para shahabat?
Lalu apa hubungannya antara mazhab-mazhab para shahabat itu dengan empat mazhab yang kita kenal saat ini?
Bukankah kalau begitu yang harus kita ikuti adalah mazhab-mazhab para
shahabat dan bukan mazhab empat yang bukan dari kalangan shahabat?
Jawabannya sederhana saja, yaitu benar bahwa kita memang harus ikut
kepada mazhab para shahabat. Asalkan kita hidup di masa para shahabat.
Sayangnya kita hidup di 15 abad kemudian, dimana sudah tidak ada lagi
para shahabat hidup di tengah-tengah kita.
Kita butuh sumber
informasi yang valid dan benar-benar bisa dipercaya untuk bisa kontak
dengan fatwa-fatwa para shahabat. Masalahnya, dimana kita bisa menemukan
sumber-sumber fatwa para shahabat yang valid dan terjamin kemurniannya?
Jawabannya ada para murid-murid dari para shahabat itu. Ya, murid-murid
para shahabat adalah generasi yang paling amanah dan berkualitas dalam
menjaga amanah fatwa dan ilmu dari para shahabat.
1. Generasi Fuqaha di masa Tabi'in
Kalau mau tahu fatwa para shahabat, maka rujukannya ada di tangan
murid-murid mereka, yaitu generasi tabi'in. Mereka tersebat di tujuh
penjuru peradaban Islam, karena para shahabat yang menjadi guru mereka
memang tinggal berpencar-pencar, baik di Madinah, Mekkah, Kufah,
Bashrah, Syam, Mesir dan Yaman.
· Madinah : Shahabat Abdullah
bin Umar bin Al-Khattab dan Zaid bin Tsabit melahirkan tujuh ulama ahli
fiqih dari kota Madinah, di antaranya Said bin Al-Musayyib, Urwah bin
Az-Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakr bin Abdullah
bin Utbah bin Masud, Sulaiman bin Yasar, Ubaid bin Abdillah, Nafi’ Maula
Abdullah bin Umar.
· Mekkah : Shabat Ibnu Al-Abbas dan Abdullah
bin Az-Zubair di Mekkah melahirkan Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus
bin Kisan dan lainnya.
· Kufah : Ali bin Abi Thalib dan Abdullah
bin Mas’ud di Kufah melahirkan ’Alqamah, Al-Aswan, Masruq, Syuraih,
Asy-Sya’biy, An-Nakha’i dan Said bin Jubair.
· Bashrah : Anas bin Malik dan Abu Musa Al-Asy’ari melahirkan Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad Ibnu Sirin.
· Syam : Muadz bin Jabal, Ubadah dan Abu Ad-Darda’ di Syam melahirkan
Abu Idris Al-Khaulani, Makhul Ad-Dimasyqi, Umar bin Abdul Aziz, Raja’
bin Haywah dan Abdurrahman Al-Auza’i.
· Mesir : Shahabat Amr bin
Al-Ash dan puteranya Abdullah bin Amr bin Al-Ash melahirkan Yazid bin
Hubaib. Yazid adalah orang yang nantinya menjadi guru bagi Al-Laits bin
Saad, ulama besar Mesir di masanya.
· Yaman : Shabat Musa Al-Asy'ari dan Muadz bin Jabal di Yaman melahirkan Mathraf bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf.
2. Generasi Berikutnya
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase
keemasan bagi itjihad fiqih, muncul 13 mujtahid yang mazhabnya
dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah :
· Sufyan bin Uyainah di Mekah
· Malik bin Anas di Madinah
· Hasan Al Basri di Basrah
· Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauriy (161 H) di Kufah
· Al Auzai (157 H) di Syam
· Asy-Syafi’i dan Al-Laits bin Sa’d di Mesir
· Ishaq bin Rahawaih di Naisabur
· Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Adz-Dzhahiri dan Ibnu Jarir At Thabary, keempatnya di Baghdad
Yang kita sepakati tentang istilah mazhab adalah kumpulan hasil ijtihad
dari para shahabat, tabi'in, atba'uttabi'in, dan generasi
salafus-shalih, dimana kapasitas mereka adalah ahli dalam menghistimbath
ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Tidak usah
ditanyakan lagi apakah mereka mengerti hadits atau tidak, justru mereka
adalah peletak dasar ilmu naqdul hadits (kritik hadits), yang hasilnya
adalah metodologi baku dalam menshahihkan atau mendhaifkan suatu hadits.
Di dalam kepala para ahli istimbath hukum itu, minimal ada lebih dari
setengah juga hadits yang dihafal matan dan sanadnya.
Para hali
istimbath hukum ini punya ratusan murid, dimana muridnya itu sudah
menjadi guru dari ribuan murid lagi, dan murid dan murid itu sudah
menjadi guru dari ratusan ribu murid. Dan murid dari murid dari murid
dari murid itu sudah jadi guru dari jutaan murid lagi, yang mana
semuanya juga sudah jadi guru besar dalam ilmu istimbath hukum.
Kapasitas ke-guru-an mereka itu bukan hanya gelar yang diberikan
seenaknya, tetapi dibuktikan dengan jutaan jilid karya ilmiyah fatwa
ilmu fiqih dalam segala aspek kehidupan. Karya-karya itu adalah bukti
otentik ketinggian ilmu mereka, yang masih bisa kita baca hari ini.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,