Kamis, 28 Januari 2021

Terjemah MABADI AWWALIYAH

 

MABADY AWALIYAH II QAIDAH FIQIH




MABADY AWALIYAH II

Pembahasan Tentang Qawa'idul Fiqhiyyah


انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ مانوى
Nabi Saw bersabda : Sesungguhnya semua perbuatan itu bersama dengan niatnya,
dan untuk setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya (HR. Bukhari)


KAIDAH PERTAMA

الامو ر بمقاصدها
“ Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya “

Misalnya :

  1. Berwudhu itu harus dengan niat, seperti itu pula mandi wajib, sholat dan puasa
  2. Jika ia melakukan perbuatan yang hukumnya Mubah, tetapi ia beri‟tikad bahwa ia melakukan perbuatan yang tidak halal, seperti ketika seseorang menggauli seorang perempuan dan dalam hatinya menyatakan bahwa perempuan itu bukan istrinya, dan ia sedang melakukan perbuatan zina, walaupun ternyata perempuan itu adalah istrinya, maka perbuatan itu tetap haram.
  3. Ketika seseorang berniat dalam makan dan minum itu untuk menguatkan dalam beribadah, maka ia akan mendapatkan pahala, jika tidak diniati maka ia tidak akan mendapatkan pahala.
  4. Orang yang memeras anggur itu juga tergantung tujuan/niatnya untuk dijadikan cuka atau khamer (minuman keras).
  5. Tidak berbicara dengan orang lain diatas 3 hari itu hukumnya haram, jika diniati, tapi kalau tanpa ada niat untuk itu maka hukumnya tidak haram.



------ooOoo------- 


KAIDAH KEDUA

ما يسترط فيه التعيين فالخطاء فيه مبطل

 “Jika menyatakan sesuatu itu menjadi syarat,
maka jika kesalahan hukumnya batal”

Misalnya :

  1. Kesalahan dalam melakukan sholat dzuhur ke „ashar dan sebaliknya, maka ketika ia melakukan  sholat  dzuhur dan berniat sholat „ashar maka hukumnya tidak sah.
  2. Kesalahan dalam niat dari Kafarat Dzihar ke Kafarat Membunuh.
  3. Kesalahan dalam niat dari Sholat Sunnah Rawatib Dzuhur ke Rawatib Ashar.
  4. Kesalahan dalam niat dari Sholat „Idul Fitri ke „Idul Adlha dan sebaliknya.
  5. Kesalahan dalam niat dari Sholat dua raka‟at Sunnah Ihram ke dua raka‟at sunnah Thawaf dan sebaliknya.
  6. Kesalahan dalam niat dari puasa „Arafah ke puasa „Asyura dan sebaliknya.


------ooOoo-------


KAIDAH KETIGA

ما يسترط التعرض له جملة ولا يسترط تعيينه تفصيلا
 اذا عينه تفصيلا واخطأ ضر

 “Jika syaratnya hanya menentukan secara global, dan tidak disyaratkan ta‟yinnya
(menyatakannya) secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia
salah, maka hal itu akan menjadi madharat”

Misalnya :
  1. Niat menjadi ma‟mum pada Zaid ternyata yang jadi imam adalah Umar, maka tidak sah berjama‟ahnya karena ia telah menghilangkan niat ma‟mum kepada Umar dengan niat menjadi ma‟mumnya Zaid, maka ketika ternyata ia menjadi ma‟mum dari Umar maka ia tidak berniat menjadi ma‟mum. Dan dalam berjama‟ah tidak disyaratkan menyatakan siapa imamnya, tetapi hanya disyaratkan untuk niat berjama‟ah, tidak yang lain.
  2. Niat mensholati mayyitnya Bakar, ternyata yang disholatinya adalah mayyit Khalid, atau niat sholat untuk mayyit laki-laki tapi ternyata mayyitnyaperempuan, atau sebaliknya, maka semua itu tidak sah. Karena dalam sholat Janazah itu tidak wajib ta‟yin (menyatakan) siapa mayyit yang disholatinya, hanya cukup berniat sholat terhadap mayyit saja.
  3. Barang siapa melaksanakan sholat untuk mayyit yang jumlahnya banyak, maka dalam sholat in  tidak diwajibkan melakukan ta‟yin (menyatakan) jumlah dari mayyit-mayyit itu, maka ketikaberi‟tiqad bahwa jumlah mayyitnya 10 orang tapi ternyata lebih banyak, maka sholatnya mesti diulangi (i‟adah).
  4. Tidak disyaratkan ta‟yin (menyatakan) bilangan raka‟at, maka ketika seseorang niat sholat dzuhur lima raka‟at atau tiga raka‟at, maka sholatnya tidak sah.
  5.  Jika seseorang telah menyatakan mengeluarkan zakat untuk hartanya yang ghaib (tidak ada disampingnya) dan ternyata harta yang ghaib itu telah rusak/hilang, maka zakat untuk harta yang ghaib itu tidak bisa dijadikan sebagai zakat harta yang masih ada.


    ------ooOoo-------

    KAIDAH KEEMPAT

    ما لا يسترط التعرض له جملة ولا يسترط تعيينه تفصيلا
     اذا عينه تفصيلا واخطأ لم يضر


    “Jika tidak disyaratkan menentukan secara global, dan tidak secara terperinci,
    maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu tidak akan menjadikannya madharat”


    Misalnya :


    1. Kesalahan menyatakan tempat sholat, maka ketika seseorang niat sholat dzuhur di Mesir dan ternyata ia berada di Mekkah, maka tidaklah batal sholatnya, karena niat sholatnya sudah ada, dan ta‟yin (menyatakan) tempat itu bukanlah sambungan dari niat sholat baik secara global maupun terperinci.
    2. Kesalahan dalam menyatakan masa sholat, maka ketika seseorang niat melaksanakan sholat  Ashar pada hari Kamis tapi ternyata hari Jum‟at, maka sholatnya itu tidak batal.
    3. Kesalahan ta‟yin (pernyataan) Imam tentang ma‟mum yang ada dibelakangnya, maka jika seseorang berniat menjadi imamnya Zaid tapi ternyata yang jadi ma‟mum adalah umar, maka sholat imam itu tidak menjadinya madharat (tidak batal) hal itu karena tidak adanya syarat bagi imam untuk menentukan siapa ma‟mumnya, dan tidak juga niat untuk menjadi imam.



    ------ooOoo-------

    KAIDAH KELIMA

    مقاصد اللفظ على نية اللافظ
    “Maksud lafadz (ucapan) itu tergantung orang yang melafadzkannya
    (mengucapkannya)”

    Misalnya :

    1. Jika seseorang mempunyai istri bernama “Thaliq” (yang dicerai), atau mempunyai budak perempuan bernama “Hurroh” (yang merdeka) maka ketika iamemanggil istrinya “Ya Thaliqu”  (Hai perempuan yang dicerai), atau memanggil budak perempuannya “Ya Hurrotu” (Hai budak yang merdeka), jika ketika ia memanggil bertujuan untuk menthalaq istrinya atau memerdekakan budaknya, maka terjadilah keduanya itu, tetapi jika hanya untuk memanggil saja maka tidaklah menjadi apa-apa.
    2.  Jika seseorang mengulang-ulang lafadz thalaq sebanyak tiga kali untuk menthalaq istrinya dengan tidak ada huruf athafnya, maka jika ia bertujuan mengulangi lafadz itu dengan memulai dari awal, maka jatuhlah thalaqnya tiga, tetapi jika hanya mentaukidkannya (memperkuat) saja maka thalaq nya hanya jatuh satu.
    3. Jika  seseorang membaca dalam sholat dengan bacaan Al-Qur‟an dan tidak berniat selain membacanya, maka itu hukumnya jelas, tetapi jika ia bertujuan untuk memberikan faham kepada orang lain saja, maka batal sholatnya, tetapi jika ia berniat dua-duanya maka sholatnya tidak batal, dan ketika seseorang memutlakannya maka Qaul yang lebih Shahih berpendapat bahwa sholatnya itubatal seperti firman Allah Swt dalam surat al-Hijr : 46

      ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ

      "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman"

      Dan firman Allah dalam surat Maryam : 12


      يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ 

       "Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh."
    4. sungguh.Ketika seseorang mengiringi niatnya dengan ucapan “Insya Allah” maka ketika ia berniat untuk menggantungkannya maka batallah niatnya itu, tetapi jika untuk mengharap berkah maka tidaklah menjadi batal, atau hanya memuthlakkannya saja (tidak menggantungkan tidak juga mengharap berkah), maka Qaul yang lebih shahih menentukan bahwa hukumnya batal.

      Rasulullah Saw bersabda : 

       اذا شك احدكم فى صلاته فلم يدر اصلى ثلاث ام اربعا فليطرح الشك وليبن على ما استقين



       “Jika salah satu diantara kamu ragu dalam sholatnya dan tidak mengetahuinya apakah ia telah sholat 3 raka‟at atau 4 raka‟at, maka sebaiknya ia meninggalkan keraguan itu dan sebaiknya berpegang pada apa yang diyakininya.” (HR. Muslim)


      ------ooOoo-------


      KAIDAH KEENAM

         اليقين لا يزل بالشك
      “Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan”


      Misalnya :


      1.  Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka peganglah 3 karena itulah yang lebih meyakinkan.
      2. Barang siapa yakin dalam keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats maka ia adalah suci.
      3. Barang siapa yakin mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan suci, maka ia adalah orang yang mempunyai hadats.


       Dan kaidah yang lain menyebutkan :

      ان ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين

       “Sesungguhnya sesuatu yang tetap dengan keyakinan itu tidak akan
      kecuali dengan keyakinan pula”




      ------ooOoo-------

      KAIDAH KETUJUH

      الاصل بقاء ما كان على ما كان
      “Asalnya itu tetapnya sesuatu atas sesuatu”

      Misalnya :


      1. Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan ragu-ragu telah muncul fajar, maka sah puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya malam.
      2. Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad, dan ia raguragu pada terbenamnya matahari, maka batal puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya siang.
      3. Kedua  suami istri hidup susah dalam waktu yang cukup lama, kemudian istrinya menggugat suaminya tidak pernah memberikannya pakaian, dan nafkah, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan si istri itu, karena pakaian dan nafkah itu berada pada tanggungan suaminya dan suami tidak dapat memenuhi keduanya (pakaian dan nafkah).
      4.  Suami istri yang berselisih/berseteru tentang masalah tamkin (perlakuan istri melayani suami), maka ucapan yang dipegang adalah ucapan suami, karena asalnya itu tidak adanya tamkin, maka tidak wajib bagi suami untuk memberikan nafkah, karena nafkah itu wajib jika adanya tamkin.
      5. Seseorang yang telah membeli air kemudian menggugat bahwa air itu najis, dan hendak mengembalikannya, maka ucapan yang mesti dipegang adalah ucapan si penjual, karena sesungguhnya asalnya air itu adalah suci.
      6. Seseorang yang meragukan air suci yang berubah, apakah perubahan itu sedikit atau banyak, maka air itu masih tetap suci.



      ------ooOoo-------


      KAIDAH KEDELAPAN

      الاصل براءة الدمة
       “Asalnya itu lepasnya tanggungan/tanggung jawab
      Misalnya :


      1. Seseorang yang diminta untuk melakukan sumpah, kemudian ia tidak mau melakukannya, maka ia tidaklah dihukum karena ketidak mauannya itu, karena asalnya adalah tidak adanya tanggungan/tanggung jawab, kemudian sumpah itu dihadapkan kepada orang yang meda‟wanya/menggugatnya.
      2. Jika seseorang berkata : “saya berikan kitab padamu agar kamu memberikan pengganti kitab yang lain, maka ketika orang yang diberi itu memungkirinya bahwa tidak ada lafadz “memberikan penggantinya” maka ucapan yang didengar adalah ucapan orang yang diberi kitab, karena asalnya adalah lepasnya/bebasnya tanggungan.
      3. Jika dua orang berselisih tentang harga barang yang dipinjam kemudian rusak, agar orang yang merusakkannya mengganti sesuai dengan harganya, maka ucapan yang didengar adalah ucapan orang yang meminjamkannya, karena asalnya ialah lepasnya tanggungan dari apapun yang melebihi tuntutan (harga barang )

      ------ooOoo-------


      KAIDAH KESEMBILAN

      الاصل العدم
      “Asalnya itu tidak ada”

      Misalnya :


      1. Ucapan pelaku Qiradh (pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagi keuntungan) itu dibenarkan ketika ia berkata : “tidak ada untungnya”karena asalnya adalah tidak adanya keuntungan.
      2. Dan ucapannya juga yang mengatakan : “tidak ada keuntungan kecuali segini” karena asalnya tidak adanya kelebihan/keuntungan.
      3. Serta ucapannya yang mengatakan : “kenapa kamu tidak mencegah saya untuk membeli barang itu” karena asalnya itu tidak ada yang mencegah. Seseorang yang memakan makanan orang lain kemudian ia berkata bahwa dia telah membolehkannya untuk saya, sementara yang memiliki makanan itu memungkirinya, maka ucapan yang didengar adalah ucapan si pemilik makanan, karena asalnya adalah tidak adanya kemubahan.
      4. Jika seseorang ditetapkan mempunyai hutang dengan sebab pengakuan atau jual beli, kemudian ia mengaku/menda‟wa tentang hutang itu sudah dibayar atau dibebaskan, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan orang yang dida‟wa mempunyai hutang, karena asalnya adalah tidak adanya semua itu (hutang).
      5. Jika seseorang ragu-ragu dalam meninggalkan perbuatan yang diperintah dalam sholatnya, seperti tidak melaksanakan tahiyyat awal, maka ia menggantinya dengan sujud sahwi, tetapi jika melakukan perbuatan yang dilarang dalam sholat, seperti menambah jumlah sujud dengan ragu-ragu, maka tidaklah harus sujud sahwi, karena sesungguhnya asalnya itu tidak adanya pekerjaan menambah sujud.


      ------ooOoo-------


      KAIDAH KESEPULUH

      الاصل فى كل حادث تقديره باقرب زمنه

       “Asalnya sesuatu yang datangnya kemudian, perkiraan hukumnya adalah
      menghitung pada yang lebih dekat waktu kedatangannya ”

      Misalnya :


      1. Seseorang yang telah memukul perut orang hamil sampai kemudian melahirkan seorang anak yang hidup dan dan tidak dalam kondisi sakit, tetapi kemudian ia meninggal dunia, maka orang itu tidaklah dijatuhi hukuman sebagai pembunuh, karena secara dzahir anak itu meninggal dengan sebab yang lain, dan sebab yang lain itu sangat dekat dengan kematian anak tadi.
      2. Seseorang yang menjual hamba sahaya, kemudian hamba itu ternyata sakit, dan meninggal dunia, maka tidaklah boleh dikembalikan lagi kepadanya, karena sakitnya itulah yang terus bertambah dan menghasilkan hamba itu meninggal dunia, dan juga karena sakit itu lebih dekat waktunya dengan kematian sihamba sahaya, serta tidak ada kenyataan menyalahkan kematian hamba itu kepada pemiliknya yang dahulu.
      3. Seseorang yang melihat mani (sperma) pada pakaiannya, tetapi ia tidak mengingat mimpinya (lupa), maka orang itu wajib mandi wajib, dan wajib mengi‟adah (mengulangi) sholatnya sejak akhir tidurnya (sejak ia terbangun), karena sesungguhnya akhir tidurnya itu yang lebih dekat masanya pada orang itu.
      4. Orang yang berwudhu di sumur setiap hari untuk melakukan sholat, kemudian ia menemukan bangkai tikus disumur itu, maka ia tidak wajib mengulangi (mengqodho) sholatnya kecuali jika ia yakin bahwa ia sholat dalam keadaan najis.
      5. Orang yang membuka pintu sangkar burung kemudian burung itu langsung terbang, maka ia wajib menggantinya, tetapi jika burung itu diam terlebih dulu baru kemudian terbang, maka ia tidak wajib menggantinya. Karena itu hanya memberikan pilihan kepada si burung. Namun menurut pendapat ulama (Qaul yang lemah) bahwa orang itu tetap wajib menggantinya, karena membuka pintu sangkar itulah yang menjadikan burung itu terbang.

      Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah : 185


      يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

      "....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....."


      ------ooOoo-------


      KAIDAH KESEBELAS

        المسقة  تجلب التيسير
       “Kesulitan itu akan menarik / menghasilkan kemudahan ”


      Misalnya :


      1. Ketika seseorang tidak bisa berdiri dalam sholat fardhu maka baginy  diperbolehkan sholat sambil duduk, begitu pula jika ia tidak bisa untuk duduk maka diperbolehkan sholat sambil berbaring miring. 
      2. Jika seseorang tidak boleh menggunakan air maka ia boleh bertayammum. 
      3. Ketika dirasakan sukar bagi seseorang untuk menghindari/menghilangkan najis pada dirinya, maka najis itu diampuni oleh Allah Swt, seperti najis darah akibat luka, bisul, kotoran jalan, dan bekas najis yang susah untuk dihilangkan.

      Imam Syafi‟i ra. berkata : “Ketika seorang perempuan tidak mempunyai wali dalam perjalanannya, maka ia boleh menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kepada orang lain yang dipercayanya.”

      Ucapan Imam Syafi‟i yang lain tentang tempat-tempat yang dibuat dari tanah dan dipanaskan dengan kotoran itu boleh dipergunakan untuk berwudhu.

      Dan dengan pengertian kaidah ini, Imam Syafi‟i berkata :

      الامر اذا ضاقت اتسع
       “Perkara itu ketika dalam kondisi sempit, maka hukum akan menjadi longgar”

      Dan ucapan sebagian ulama :

      الاسياء اذا ضاقت اتسعت
       “Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi sempit maka ia akan menjadi longgar”

      FAIDAH :


      • Keringanan dalam hukum syara’ itu terbagi menjadi tujuh macam :
      • Keringanan menghilangkan/menggugurkan, seperti gugurnya kewajiban Jum‟at, haji dan Umroh dengan sebab „udzur/halangan.
      • Keringan mengurangi, seperti meng-qashar (meringkas jumlah raka‟at) sholat.
      • Keringanan menggantikan, seperti menggantikan wudhu dan mandi dengan tayammum, dan menggantikan berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring miring dan isyarah, dan menggantikan puasa dengan memberi makan fakir miskin (bagi yang udzur).
      • Keringanan mendahulukan, seperti sholat jama‟ taqdim dan mendahulukan zakat sebelum waktunya tiba, dan mendahulukan zakat fitrah dibulan Ramadhan, dan mendahulukan membayar kafarat bagi yang melanggar sumpah.
      • Keringanan Mengakhirkan, seperti sholat jama‟ ta‟khir, dan mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir, dan mengakhirkan sholat bagi orang yang menyelamatkan orang yang tenggelam.
      • Keringanan Rukhshoh, seperti sholatnya orang yang beristinja‟ dengan batu karena masih ada bekas sisa kotorannya, dan minum arak bagi orang yang haus, serta makan najis untuk kebutuhan obat.
      • Keringanan merubah, seperti merubahnya peraturan/praktik sholat pada sholat khauf.


      ------ooOoo-------

      KAIDAH KEDUA BELAS

      الاسياء اذا اتسعت ضاقت
      “Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi longgar maka ia akan menjadi sempit”


      Misalnya :

      1. Sedikitnya bergerak dalam sholat itu diampuni, dan jika banyak bergeraknya dengan tidak adanya hajat (kebutuhan) maka itu tidak diampuni. Ketika air berubah misalnya oleh ganggang maka air itu tetap suci mensucikan, tetapi ketika ganggang itu diremas-remas/dihancurkan oleh seseorang dan menceburkannya ke air kemudian air itu berubah, maka air itu menjadi tidak suci mensucikan.
      2. Jika didalam air terdapat bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, maka air itu tetap suci mensucikan,

      Imam Ghazali rahimahullah mengumpulkan antara dua kaidah dengan ucapannya :
      كل ما تجوز حده انعكس الى ضده
      “Setiap sesuatu yang melewati batas, maka ia akan kembali pada kebalikannya”

      Nabi Saw bersabda :
      لا ضَرر ولا ضِرر ( رواه ابن مالك وابن ماجه )
       “Tidak memberikan madharat pada diri sendiri, dan tidak memberikan madharat pada orang lain” (HR. Imam Malik dan Ibnu Majah).


      ------ooOoo-------


      KAIDAH KETIGA BELAS

      الضرر يزال

      “Kemadharatan itu dihilangkan”

      Misalnya :

      1. Si pembeli itu boleh khiyar (memilih mengembalikan atau tidak) dengan adanya cacat benda yang telah dibelinya. Bagi suami istri itu boleh fasakh (bubar) nikah dengan adanya beberapa cacat.
      2. Diperbolehkan bagi istri meminta fasakh nikah karena susahnya/miskinnya suami Menjaga kelestarian umat, menetapkan hukum, mencegah kedzaliman, Qishash dan memberikan hukum harus mengganti bagi para perusak.


      ------ooOoo-------

      KAIDAH KEEMPAT BELAS

      الضررة لا يزال بالضرر
       “Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang lain”

      Misalnya :

      1. Orang yang madharat tidak boleh memakan makanan orang lain yang sama madharatnya dan tidak boleh membunuh anaknya atau hamba sahayanya. Jika seseorang terjatuh diatas orang yang sedang terluka, dan tetap berada diatasnya sampai orang yang luka itu meninggal, maka orang itu hukumnya telah membunuh, tetapi jika langsung pindah maka yang membunuh bukanlah orang yang terjatuh itu.  
      2. Jika uang dinar yang terjatuh ditempat tinta dan tidak bisa dikeluarkan kecuali dengan cara menghancurkannya, maka apabila dihancurkan berarti orang itu harus mengganti tempat tinta itu pada pemiliknya, tetapi jika yang menghancurkannya itu pemilik tempat tinta, maka orang itu tidaklah mesti menggantinya.

      ------ooOoo-------


      KAIDAH KELIMA BELAS

      الضررة تبيح المحظوراة

       “Kemadharatan itu dapat membolehkan semua yang dicegah/larang”

      Misalnya :
      1. Diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi bagi mereka yang sangat lapar dan bagi yang amat  kehausan boleh meminum arak.
      2. Boleh melafazkan kalimat yang mengakibatkan kekufuran karena dipaksa.
      3. Diperbolehkan mengambil harta orang yang tidak mau membayar hutang kepadanya dengan tanpa izin orang itu.
      4. Apabila keharaman itu sudah menyebar disuatu daerah sampai dirasakan sulit menemukan sesuatu yang halal kecuali sedikit (jarang) maka diperbolehkan untuk memakai yang haram itu sesuai dengan kebutuhan.
      5. Menggali mayyit yang sudah dikubur karena dharurat seperti tidak dimandikan atau tidak menghadap kiblat.   Dan pengertian kaidah ini sama dengan kaidah yang lain yaitu :

      لا حرم مع الضررة ولا كراهة  مع الحجة
      dan tidak ada hukum makruh bagi yang hajat (butuh)”
      ------ooOoo-------


      KAIDAH KEENAM BELAS

      ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
      “Yang dibolehkan dalam hal kemadharatan itu hanya ukuran perkiraan
      madharatnya”

      Misalnya :

      1. Orang yang madharat itu tidak boleh makan makanan yang haram kecuali makan untuk menyambung hidupnya.
      2.  Jika seseorang bertujuan (mengobati/menyuntik) seorang perempuan maka wajib baginya menutupi semua lengan perempuan itu dan tidak boleh membukanya kecuali pada bagian yang menjadi tujuannya itu.
      3. Tidak diperbolehkan mengawinkan orang gila dengan perempuan yang lebih dari satu, karena itu telah menolak kebutuhan baginya.
      4. Boleh menambah tempat sholat Jum'at karena tidak muat pada satu tempat, dengan perkiraan dapat menghilangkan alasan tidak muat itu, dan jika dengan duatempat sholat Jum‟at sudah terpenuhi maka tidaklah boleh membuat tempat yang ketiga.

      ------ooOoo-------



      KAIDAH KETUJUH BELAS

      الحجة قد تنزل منزلة الضرورة

       “Hajat itu terkadang berada diposisi dharurat”

      Misalnya :
      1. Diperbolehkan melihat perempuan karena alasan mu'amalah dan khitbah (melamar)
      2. Qaul sebagian ulama yang membolehkan akad Muzara‟ah (bibitnya dari yangmenggarap sawah) dan Mukhabarah (bibitnya dari yang punya sawah) karena butuh pada keduanya dalam kehidupan  ini.
      3. Menurut sebagian ulama : diperbolehkan menjual (sayuran dll) yang masih berada didalam tanah, seperti : lobak dan bawang karena kemashlahatan umum bagi manusia, karena jika disyaratkan pada penjualnya untuk mengeluarkannya dari dalam tanah sekaligus, maka itu menjadikannya susah dan rusaknya (sayuran dll) yang tidak dibeli, dan jika ia menjualnya dengan cara sedikit-sedikit, maka itu juga akan menjadikannya kesusahan dan hilangnya kemashlahatan baginya.



      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDELAPAN BELAS

      اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمهما بارتكاب اخفهما

       “Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya
      dengan melakukan yang lebih ringan mafsadatnya”

      Misalnya   :
      1. Boleh membelah perut orang mati jika didalamnya terdapat seorang anak yang diperkirakan hidup.
      2. Tidak boleh meminum Khamr dan berjudi karena madharat keduanya itu lebih besar dari manfa‟atnya.
      3. Diberlakukannya dalam agama Islam hukum Qishah, hudud, membunuh perampok.
      4. Boleh bagi orang yang madharat mengambil makanan orang lain dengan paksa.
      5. Boleh memotong dahan/ranting pohon milik orang lain jika berada di area tanah miliknya.
      6.  Apabila orang yang madharat menemukan bangkai dan makanan milik orang lain, maka pendapat yang lebih shahih menyatakan lebih baik memakan bangkai, karena memakan bangkai  hukumnya mubah dengan dasar Nash, sedangkan memakan makanan orang lain itu hanya dengan dasar ijtihad.


      ------ooOoo-------




      KAIDAH KESEMBILAN BELAS

      درع المفاسد مقدم على جلب المصالح

      “Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil
      kemashlahatan”

      Misalnya :

      1. Mubalaghah dalam berkumur-kumur dan istinsyaq itu hukumnya disunnahkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga puasanya dari jalan yang menjadikannya batal.
      2. Menyela-nyela rambut hukumnya sunnah dalam bersuci, tetapi dimakruhkan bagi orang yang sedang ihram karena menjaga dari rontoknya rambut. 
      3. Diampuni dalam meninggalkan sebagian kewajiban dengan yang lebih rendah tingkat  kesukarannya seperti berdiri dalam melaksanakan sholat (boleh duduk jika udzur), dan berbuka (bagi yang udzur berpuasa) serta dalam hal bersuci (boleh diganti dengan tayammum), dan tidak diampuni dalam hal melakukan perbuatan yang dilarang (seperti memilih yang lebih rendah dosanya) terlebih lagi dalam masalah dosa-dosa besar.


      Allah Swt berfirman dalam surat al-Mu‟minun : 5 - 7

      وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
      إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
      فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

      " Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas."



      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDUA PULUH

      الاصل فى الابضاع التحريم
      “Asalnya berjima‟ itu hukumnya haram”


      Misalnya :


      1. Ketika seorang perempuan muhrim (yang haram dinikahi) yang tidak diketahui keberadaannya, ada bersama dengan perempuan-perempuan yang jumlahnya dapat dihitung (jumlah sedikit) dan berada pada satu kampung, maka dilarang bagi orang itu untuk berijtihad (memilih salah satunya untuk dijadikan istri) karena syarat ijtihad dalam menentukan sesuatu itu asal hukumnya harus mubah (boleh), tetapi diperbolehkan memilih salah satu dari perempuan-perempuan itu, jika jumlahnya amat banyak, karena rukhshoh (keringanan) agar tidak tertutupnya pintu nikah dan terbukanya pintu zina.
      2. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain dalam membeli jariyah (budak perempuan) dan memberikan keterangan tentang sifat-sifatnya, dan ketika siwakil membeli jariyah itu dengan sifat-sifat yang sama tetapi ia meninggal sebelum menyerahkannya pada orang yang mewakilkannya, maka hukumnya si jariyah tadi tidak boleh di jima‟ oleh orang yang mewakilkannya itu, karena dikhawatirkan siwakil membeli jariyah itu untuk dirinya sendiri, walaupun siwakil membeli jariyah itu dengan sifat yang telah disebutkan tadi itu jelas dalam kehalalannya, karena asalnya jima‟ itu haram sampai diyakini sebab-sebab yang menghalalkannya.
      3. Tidak dihalalkan menjima‟ perempuan yang menjadi boyongan (tawanan) perang kecuali sudah menjadi bagian dari ghanimah yang dibagi oleh imam yang membaginya dengan baik dengan tidak ada rasa ragu dan takut.

      Allah Swt berfirman dalam surat al-A‟raf : 199


      خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ



      "Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh."




      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDUA PULUH SATU

      العادة محكمة
      “Adat itu bisa menjadi hukum”
      Misalnya :


      1. Berjual beli dengan memuthlakan bahasa singkat, maka ketentuannya adalah sesuai dengan mata uang yang berlaku.
      2. Mu'amalah dalam jenis barang-barang atau macam-macam jenisnya yang lain itu pada dasarnya berlaku harga yang sesuai dengan mata uang yang berlaku.
      3. Dalam hal menggunakan kamar mandi dan makan makanan yang disuguhkan kepada tamu dengan tidak ada lafadz/ucapan apapun, maka hukumnya tergantung adat yang berlaku, apakah itu gratis (cuma-cuma) atau tidak.
      4. Dalam hitungan haidh, sedikitnya haid, nifas dan suci, serta kebiasaan dan paling banyaknya itu tergantung kebiasaan yang berlaku. Untuk memberikan upah pada tukang jahit dan tukang tenun, menurut imam Rafi‟i rahimahullah sebaiknya bersandar pada kebiasaan yang berlaku.

      واعلم انما تعتبر العادة اذا ا ضطرت فان اطربت فلا وجب البيان

      Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya adat itu menjadi perumpamaan ketika berlaku, maka ketika berubah tidaklah wajib untuk membuat bayan (keterangan)”



      ------ooOoo-------


      KAIDAH KEDUA PULUH DUA

      ما ورد به السرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى اللغة يرجع فيه الى العرف

      Sesuatu yang datang dalam hukum syara‟ secara muthlaq dan tidak ada yang
      menjadi landasannya dan tidak juga dengan definisi lughoh (bahasa) maka semua
      itu dikembalikan pada kebiasaan (adat) yang berlaku”


      Misalnya :


      1. Niat dalam sholat itu cukup dengan Muqoronah „Urfiyah (berbarengan sesuai adat) dengan perkiraan hitungan orang itu telah menghadirkan niat dalam sholat atau yang biasa disebut dengan Istihdharul „Urfi.
      2. Jual beli dengan saling serah terima tanpa akad ijab dan qabul itu secara hokum syara‟ tidak sah, maka wajib dikembalikan kepada adat kebiasaan, dan pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi rahimahullah, dan termasuk Qaul Mu‟tamad.



      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDUA PULUH TIGA

      الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد

       “Ijtihad itu tidak akan rusak dengan ijtihad yang lain”


      Misalnya :


      1. Jika seseorang berubah ijtihadnya dalam menentukan arah kiblat, maka yang dipakai adalah ijtihad yang kedua, tetapi tidak mesti mengqadho (mengulangi) sholatnya (jika sudah melakukan sholat), bahkan walaupun ia sholat 4 raka‟at dengan 4 arah kiblat yang berbeda itu tidak mesti diqodho.
      2. Jika seorang hakim telah memutuskan hukum sesuatu dengan ijtihadnya, kemudian ijtihad itu  berubah, maka hukum dari ijtihad yang pertama tadi tidaklah menjadi batal.
      3. Apabila seorang suami melakukan khulu‟ kepada istrinya sebanyak 3 kali kemudian setelah itu ia menikahi istrinya (yang telah dikhulunya itu), dengan tidak menggunakan Muhallil (orang yang menyelang), dengan beri‟tiqad bahwa khulu‟ itu adalah fasakh nikah bukan thalaq, tetap kemudian ijtihadnya berubah bahwa khulu‟ itu adalah thalaq maka ia tetap masih diperbolehkan bersama istrinya itu dengan pernikahannya tadi.

      Imam Ghazali berkata : Jika hakim telah memutuskan untuk menyatakan sah pada pernikahannya itu maka tidaklah wajib memisahkannya, walaupun kemudian ijtihad hakim itu berubah untuk memisahkannya sebagai perubahan hukum yang telah ditetapkan hakim dalam ijtihadnya, sekalipun hakim tidak memberikan keputusan harus pisah, maka hukum dalam pernikahan itu terdapat keragu-raguan. Qaul Mukhtar (yang dipilih) berpendapat wajib memisahkannya karena kewajiban menjaga perempuan tadi dari jima‟ haram berdasarkan i‟tiqad/ijtihadnya hakim yang kedua.

       ( تنبيه ) Pengertian Kaidah ini adalah bahwa ijtihad (yang kedua) itu
      tidak membatalkan ijtihad yang pertama, akan tetapi harus adanya perubahan hukum setelah itu, karena tidak adanya tarjih (yang kuat) pada ijtihad yang pertama tadi, karena itu yang harus digunakan adalah ijtihad kedua didalam menentukan arah kiblat, namun ijtihad yang pertama tidaklah menjadi batal.

      Alah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah : 148

       فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ 

      ".....Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan...."




      ------ooOoo------



      KAIDAH KEDUA PULUH EMPAT

      الايثار بالعبادة ممنوع

       “Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu dilarang”

      Misalnya :
      1. Mendahulukan orang lain dalam barisan pertama dalam sholat berjama'ah,
      2. Mendahulukan orang lain dalam memakai air suci dan bergantian menutup aurat
      3. Mendahulukan orang lain untuk mencari orang lain karena giliran mengajar ilmu
      4. Mendahulukan orang lain dalam memberikan kebutuhan orang yang hajat seperti memberi makan orang miskin dan anak-anak yatim

      Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Hasyr : 9


      "....Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan...."

      -------ooOoo-------
      KAIDAH KEDUA PULUH LIMA

      الايثار بغير العبادة مطلوب

      “Mendahulukan diri sendiri dalam hal yang bukan ibadah itu yang dicari”

      Misalnya :
      1. Mendahulukan dalam hal kemiskinan (demi orang lain)
      2. Mendahulukan dalam hal pakaian (demi orang lain)
      3. Mendahulukan dalam hal makanan (demi orang lain)
      4. Tidak mengambil harta sodaqoh, karena mendahulukan buat            orang lain
                                                                  
      Nabi Saw bersabda :

      كُلُّكُمْ راَعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَاعِيَّتِه

      “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung
      jawabannya atas kepemimpinannya itu”



      ------ooOoo-----



      KAIDAH KEDUA PULUH ENAM

      تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

       “Kebijakan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya harus dilandasi dengan kemashlahatan”


      Misalnya :
      1. Ketika imam membagi zakat terhadap beberapa ashnaf, maka diharamkan memberikan kelebihan kepada salah satu ashnaf jika kebutuhannya sama.
      2. Tidak diperbolehkan kepada seseorang untuk memilih imam dalam sholat itu yang fasiq walaupun secara hukum sah menjadi ma‟mum padanya, karena hukumnya adalah makruh.
      3. Tidak diperbolehkan menggunakan harta baitul mal untuk orang yang tidak butuh dan membelakangkan orang yang lebih butuh

      Nabi Saw bersabda :

      ادرءوا الحدود با لسبهات

       “Tolaklah hukum hudud itu dengan perkara yang syubhat (ragu-ragu)”





      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDUA PULUH TUJUH

      الحدود تسقط بالسبهات

       “Hudud (hukum had) itu hilang dengan adanya perkara yang syubhat”

      Misalnya :


      1. Bagi orang yang menjima‟ perempuan dan ia menyangka bahwa perempuan itu adalah istrinya, maka ia tidaklah mendapat hukuman (had).
      2. Bagi orang yang menjima‟ perempuan yang dinikahinya, tetapi nikahnya menurut pendapat sebagian hukumnya halal dan sebagian yang lain menyatakan haram, seperti nikah mut‟ah, nikah tanpa wali, atau tanpa saksi dan setiap nikah yang ulama berbeda pendapat dalam hukumnya.
      3. Orang yang mengambil harta yang disangkanya adalah kepunyaannya atau kepunyaan bapaknya atau anaknya, maka tidaklah ia diberi hukuman (had) karena syubhat dalam kepemilikannya itu.
      4. Orang yang meminum khamer untuk berobat walau menurut Qaul Ashoh (yang lebih shahih) itu hukumnya haram, karena syubhatnya khilafiyah (perbedaan pendapat).

      Allah Swt. Berfirman dalam surat ali-„Imran : 102

      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


      "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."



      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDUA PULUH DELAPAN

      ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

      “Perkara yang membuat sempurnanya hukum wajib
      maka perkara itu hukumnya wajib pula ”
      Misalnya :


      1. Wajibnya mencuci juz (bagian) dari leher dan kepala beserta mencuci wajah 
      2. Wajibnya mencuci juz (bagian) dari lengan dan betis beserta mencuci sikut dan kaki.
      3. Wajibnya menutup juz dengkul dan puser untuk aurat laki-laki, dan menutup juz wajah dan kepala untuk aurat perempuan.

      Nabi Saw bersabda :

      فمن اتقى السبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه
       ( رواه السيخان )
      “Barang siapa yang menjaga perkara syubhat, maka akan mendapatkan kesucian dalam agamanya dan kehormatannya”



      ------ooOoo-------



      KAIDAH KEDUA PULUH SEMBILAN

      الخروج من الخلاف مستحب

       “Keluar dari khilafiyah hukumnya sunnah”

      Misalnya :


      1. Disunnahkan menggosok-gosok dalam bersuci/berwudhu dan meratakan usapan pada kepala, karena keluar dari khilafiyah Imam Malik yang mewajibkannya.
      2. Disunnahkan mencuci mani (sperma), karena Imam Malik mewajibkannya. Disunnahkannya Sholat Qashr dalam perjalanan yang menempuh jarak 3 marhalah ( + 16 farsakh = 88,5 km ) karena keluar dari khilafiyah Imam Abu Hanifah yang mewajibkannya.
      3. Menjauhi menghadap dan membelakangi kiblat (bagi yang sedang buang air besar atau kecil) dengan menggunakan penutup, hukumnya adalah sunnah, karena keluar dari khilafiyah Imam Shofyan Tsauri yang menghukumi wajib menjauhinya secara muthlak.
      4. Makruhnya sholat munfarid (sendirian) dibelakang barisan ma‟mum yang ada, karena keluar dari khilafiyah Imam Ahmad yang membatalkannya.
      5. Makruhnya mufarraqah (berpisah) dengan imam tanpa udzur, karena keluar dari khilafiyah Imam Daud Dzahiri yang membatalkannya.
                        
           

         (peringatan )

            Untuk menjaga khilafiyah terdapat beberapa syarat :


      1.  Menjaga khilafiyah itu tidak berada pada tempat khilafiyah yang lain, untuk itu memfashal (memisah) sholat witir itu lebih afdhol dari mewasholnya (menyambungnya) dengan tidak menjaga khilafiyah imam Abu hanifah karena sesungguhnya sebagian dari ulama itu tidak membolehkan untuk menyambungkannya.
      2.  Khilafiyah itu tidak berbeda dengan sunnah yang ditetapkan, untuk itu disunnahkan mengangkat kedua telapak tangan dalam sholat dengan tidak memperdulikan pendapat imam Abu Hanifah yang membatalkannya, karena mengangkat kedua telapak tangan itu sudah ditetapkan dari hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh 50 orang sahabat.
      3.  Landasan hukum khilafiyah itu telah kuat dengan tidak tergesa-gesa dalam menentukannya, untuk itu berpuasa bagi orang yang bepergian itu lebih utama, dengan tidak memperdulikan pendapat sebagian ahli dzahir yang menyatakan bahwa puasanya itu tidak sah.

      وليس كل خلاف جاء معتبرا # الا خلاف له حظ من النظر
       “Dan tidak ada pada setiap khilafiyah itu datang dengan i‟tibar, kecuali
      khilafiyah yang terdapat didalamnya bagian-bagian dari pemikiran.”

      Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah : 173

      فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

      ".....Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
      menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya....."





      ------ooOoo-------


       KAIDAH KETIGA PULUH

      الرحص لا تناط بالمعاصى

       “Rukhshoh (keringanan) itu tidak berlaku dengan kemaksiatan”


      Misalnya :


      1. Tidak diperbolehkan bagi orang yang maksiat dalam perjalanannya apapun dalam hal rukhshoh bepergian, dari qashar sholat, jama‟ sholat maupun berbuka puasa,
      2. Tidak diperbolehkan bagi orang yang maksiat dalam perjalanannya ketika iamadharat untuk makan bangkai dan daging babi.
      3. Jika seseorang beristinja‟ dengan sesuatu yang dihormati/dimuliakan, atau dengan makanan, maka itu tidaklah cukup (tidak sah) menurut Qaul Ashoh (yang lebih shohih), karena istinja‟ dengan batu itu adalah rukhshoh. Dan sama juga pada pengertiannya (tentang ketidak sahannya) ungkapan : istinja‟ itu dengan sesuatu yang keras, yang membersihkan dan yang dimuliakan (dihormati).


      ------ooOoo-------

      KAIDAH KETIGA PULUH SATU

      الرحص لا تناط بالسك

       “Rukhshoh (keringanan) itu tidak berlaku dengan sebab keraguan”


      Misalnya :

      1. Diwajibkan mencuci kaki bagi yang ragu-ragu dalam hukum bolehnya mengusap Khuff (mujah).
      2. Diwajibkan sholat secara itmam (sempurna) bagi yang ragu-ragu dalam hokum bolehnya sholat Qashar. Dan dalam hal ini terdapat beberapa perumpamaan :

      •  Ketika seseorang ragu-ragu, apakah ia mengusap mujah itu diwaktu hadir ataudiwaktu bepergian ? maka dipastikan bahwa mengusapnya itu diwaktu hadir karena asalnya ialah mencuci kedua kaki, dan mengusap mujah itu rukhshoh dengan syarat, maka jika tidak yakin dengan syaratnya harus kembali lagi ke asalnya kefardhuan.
      • Dan jika seseorang ragu-ragu, apakah ia niat takbiratul ihram sholat pada waktu diperjalanan atau dalam keadaan hadir, atau ragu-ragu niat Qashar atau tidak, atau apakah imam yang diikutinya itu musafir atau muqim ? maka wajib baginya melaksanakan sholat secara itmam (sempurna), karena asalnya adalah itmam (sholat secara sempurna). Dan Qashar itu dibolehkan dengan beberapa syarat, maka ketika syarat-syaratnya itu tidak nyata, harus dikembalikan kepada asalnya.



              Nabi Saw berkata pada Siti 'Aisyah :


      اجرك على قدر نصبك ( رواه مسلم )

       “Pahalamu itu tergantung kadar kepayahanmu.” (HR. Muslim)



      ------ooOoo-------

      KAIDAH KETIGA PULUH DUA

      ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا

       “Yang banyak pekerjaannya maka banyak keutamaannya”

      Misalnya :

      1. Memisahkan sholat witir itu lebih utama dibandingkan dengan disambungkan (diwasholkan) nya, karena tambahnya niat, dan takbiratul ihram serta salam.
      2. Orang yang sholat sunnah sambil duduk pahalanya adalah separuh dari yang sholat sunnah dengan berdiri, begitu pula yang sholat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari yang sholat sambil duduk.
      3. Haji Ifrad (mendahulukan haji baru kemudian umroh) itu lebih utama disbanding Haji Qiran (haji dan umroh dilakukan bersama)


      Nabi Saw bersabda :
      وما امرتكم منه فأتو منه ما استطعتم
       ( رواه البخاري و مسلم )

       “Dan pada apapun yang telah saya perintahkan padamu, lakukanlah sesuai dengan kekuatanmu (kemampuanmu)” (HR. Bukhari Muslim)




      ------ooOoo-------


      KAIDAH KETIGA PULUH TIGA


      ما لا يدرك كله لا يترك كله

       “Sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya janganlah ditinggal seluruhnya”


      Misalnya :

      1. Barang siapa tidak mampu berbuat baik (bershodaqoh) dengan dinar, karena kemampuannya hanya dengan dirham, maka lakukanlah !
      2. Barang siapa tidak mampu mengajar atau belajar dengan beberapa cabang ilmu maka janganlah ia meninggalkan seluruhnya.
      3. Barang siapa yang merasa sulit melakukan sholat malam dengan 10 raka‟at maka sebaiknya laksanakanlah walau hanya 4 raka‟at.



      Perumpamaan kaidah ini adalah ungkapan para ulama Fuqaha :
      ما لا يدرك كله لا يدرك بعضه
       “Sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya itu tidak dilakukan sebagiannya”



      ------
      ------ooOoo-------



      KAIDAH KETIGA PULUH EMPAT

      الميسور لا يسقط با المعسور

       “Kemudahan itu tidak akan hilang oleh sebab kesukaran”


      Misalnya :


      1. Ketika seseorang terpotong ujung jari-jari tangannya, maka wajib baginya mencuci yang tersisa  dalam bersuci.
      2. Bagi yang hanya mampu menutupi sebagian auratnya, maka itu dibolehkan sesuai dengan kadar   kemampuannya dalam menutup aurat.
      3. Jika seseorang tidak mampu melakukan ruku‟ dan sujud tetapi ia masih mampu berdiri, maka berdiri dalam sholatnya itu tetaplah wajiblah baginya.
      4. Barang siapa hanya memiliki setengah sha‟ (1 sha = 3 liter lebih, untuk kadar zakat fitrah), maka  tetap wajib baginya untuk mengeluarkannya sebagai zakat fitrah. 
      5. Bagi yang hanya mampu membaca setengah dari surat al-fatihah dalam sholat, maka lakukanlah (bacalah), dan kekurangannya diganti dengan membaca surat yang lain (yang ia bisa).
      6. Barang siapa memiliki 1 nishab (kadar zakat) dimana separuhnya ada pada dirinya dan yang separuhnya itu ghaib (tidak bersamanya), maka pendapat yang lebih Shahih (Qaul Ashoh) sesungguhnya wajib baginya mengeluarkan zakatnya itu dari harta yang ada pada dirinya saja.
      7. Ulama-ulama Iraq menuqil nash pendapat imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang gagu (bisu) itu wajib menggerak-gerakkan lisannya sebagai ganti dari menggerakkan lisannya dalam membaca fatihah, seperti halnya isyarat dengan ruku‟ dan sujud.
      8. Bagi orang yang pada anggota tubuhnya terdapat luka yang mencegah masuknya air pada anggota tubuh itu, maka pendapat madzhab mengungkapkan tetap wajib mencuci anggota tubuh yang lain kemudian melakukan tayammum pada anggota tubuh yang luka itu.

      Allah Swt. Berfirman dalam surat ali-„Imran : 104

      وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
       وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِالْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

      "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."


      ------ooOoo--------

      KAIDAH KETIGA PULUH LIMA

      ما حرم فعله حرم طلبه
       “Yang haram pekerjaannya, maka haram mencarinya”

      Misalnya :

      1. Mencari riba dan mas kawin dari orang yang dzalim.
      2. Mencari persen (uang tip) dukun dan sogokan.
      3. Mencari upah menangisi mayyit

      ------ooOoo-------


      KAIDAH KETIGA PULUH ENAM

      ما حرم اخده حرم اعطائه

       “Yang haram mengambilnya maka haram untuk memberikannya”

      Misalnya :

      1. Memberikan riba dan mas kawin orang yang dzalim.
      2. Memberikan persen (uang tip) dukun dan sogokan.
      3. Memberikan upah menangisi mayyit

      Allah Swt. Berfirman dalam surat Yasin : 12

      إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ     



      "Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh)."



      ------ooOoo-------


      KAIDAH KETIGA PULUH TUJUH

      الخير المتعدى خير القاصر
       “Kebaikan yang berkesinambungan itu lebih utama daripada yang singkat”

      Misalnya :
      1. Mengajarkan ilmu itu lebih utama dari sholat sunnah muthlaq.
      2. Melakukan fardhu kifayah itu mengungguli dari melakukan fardhu 'ain karena
      3. telah menggugurkan kewajiban terhadap umat yang lain Ungkapan nadzam Imam Suyuthi ra.
      اذا مات ابن ادم ليس يجري # عليه من فعال غير عسر
      Ketika ibnu Adam meninggal dunia tidaklah baginya berjalan amal perbuatannya kecuali 10 perkara.
      علوم بثها ودعاء نحل # وغرس النحل والصدقات تجري
      Ilmu yang diajarkan, do‟a nya anak sholeh, menanam kurma (tanaman),
       Shodaqoh Jariyah
      وارثة مسحف ورباط ثغر # وحفر البئر او اجراء نهر
      Mewariskan mushaf (al-Qur‟an), membangun pondok (tempat belajar), menggali sumur, menyalurkan kali/sungai
      وبيت للغريب بناه يأوى # اليه او بناه محل دكر
      Membangun rumah untuk peristirahatan musafir dan untuk tempat dzikir
      وتعليم لقرأن كريم # فخذها من احاديث بحصر
      Dan mengajarkan al-Qur‟anul Karim, maka ambillah/lakukanlah semua itu yang diambil dari keterangan hadits yang singkat

      Nabi Saw bersabda :

      لا يحل لمسلم ان ياخد عصا اخيه بغير طيب نفس منه (رواه ابن حبان فى صحيحه )

       “Tidaklah halal bagi seorang muslim yang mengambil tongkat saudaranya dengan perasaan tidak senangnya saudaranya itu” (HR. Ibnu Hibban).


      ------ooOoo-------



      KAIDAH KETIGA PULUH DELAPAN

      الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه
       “Ridha terhadap sesuatu itu ridha dengan apa yang terlahir darinya”

      Misalnya :

      1. Ridhonya suami istri terhadap „aib (cacat) salah satunya, walaupun kemudian bertambah cacatnya itu, maka tidaklah ada khiyar, menurut pendapat Qaul Shahih.
      2. Murtahin (orang yang menggadaikan) yang telah memberikan izin kepada Rahin (orang yang menggadai) dalam memukul hamba sahaya yang digadaikan, walaupun sampai rusak karena dipukul, tidaklah mendapatkan hukuman mengganti, karena itu merupakan dampak/akibat dari izinnya murtahin.
      3. Jika seseorang berkata : Potonglah tangan saya, maka kemudian dipotong tetapi selanjutnya tangannya terputus-putus akibat dari pemotongan itu, maka biarkanlah menurut Qaul Adzhar.
      4. Memakai wewangian pada waktu sebelum Ihram, kemudian wewangian itu terus menerus sampai melakukan ihram, maka tidaklah wajib membayar fidyah.
      5. Beristinja‟ dengan batu itu diampuni walaupun ketika berkeringat kotorannya itu menjadi basah, maka hukum asalnya tetap diampuni.
      6. Jika seseorang yang sedang berpuasa terlanjur meminum air ketika madlmadlah dan istinsyaq padahal ia tidaklah mubalaghah dalam melakukannya, maka ia tidaklah batal puasanya menurut Qaul Ashoh, berbeda hukumnya (batal puasanya) bagi yang melakukannya dengan mubalaghoh, karena terlanjur meminum air itu disebabkan melakukan yang dicegah (mubalaghah bagi orang yang berpuasa).



      Seiring dengan kaidah diatas, yaitu kaidah :

      المتولد من مادون فيه لا اثر له
      “Yang muncul/terlahir dari yang telah diizini maka tidaklah ada masalah”

      Nabi Saw bersabda :
      كل مسحر خمر وكل خمر حرام (رواه مسلم )
       “Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram” (HR. Muslim)



      ------ooOoo-------


      KAIDAH KETIGA PULUH SEMBILAN

      الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما

       “Hukum itu beredar bersama dengan „illatnya (sebabnya) ada maupun tidak ada”

      Misalnya :


      1. Haramnya khamer itu karena memabukkan, maka ketika tidak lagi memabukkan hukumnya menjadi halal, seperti : cuka
      2. Masuk ke rumah orang lain dan memakai pakaiannya itu haram karena tidak ada ridho dari pemiliknya, jika diketahui bahwa pemiliknya itu ridho maka hukumnya boleh.
      3. Haram hukumnya meminum racun karena merusak, tetapi ketika tidak akan merusak maka hukumnya boleh.

      Nabi Saw bersabda :
      الحلل ما احل الله فى كتابه والحرام ما حرم الله فى كتابه وما سكت عنه فهو مما عفى عنه
      ( رواه الترميذ وابن ماجه )

       “Halal itu adalah yang telah dihalalkan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya, dan
      haram itu juga yang telah diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang tidak ada
      didalamnya maka itu diampuni” (HR. Imam Turmudzi dan Ibnu Majah)



      ------ooOoo-------


      KAIDAH KEEMPAT PULUH

      الاصل فى الاشياء الاباحة
       “Asalnya sesuatu itu hukumnya Mubah (boleh)”

      Misalnya :

      1.      Keraguan menentukan halal haramnya hewan yang susah dicari hukumnya, maka hewan itu hukumnya halal.

      2.      Jika seekor burung dara masuk kedalam sangkar seseorang, dan orang itu raguragu apakah burung itu milik orang lain atau bukan, maka yang lebih utama adalah boleh memilikinya.

      3.      Jika seseorang ragu-ragu pada ukuran kadar tambalan emas pada tempat makanan/minuman, apakah ia besar atau kecil, maka hukum asalnya itu ialah mubah (boleh dipakai).

      4.      Untuk masalah hukum jerapah, Imam Subki berkata : sesungguhnya jerapah itu boleh dimakan, karena hukum asalnya adalah mubah (boleh).





      == والله اعلم ==